BUDHE ANAH JANDA DESA

 Aku terdiam melamun di ruang kerja eksekutif kantor pusat X group ini
sambil memandangi satu-satunya foto masa SMA yang kumiliki. Saat ini,
diperusahaan milik seorang Konglomerat ternama di Nusantara itu aku
menduduki jabatan yang begitu strategis, aku direktur SDM, umurku tak
lebih dari 29 tahun. Di ruangan sebelah kiri dari ruanganku adalah
ruangan Direktur Utama group bisnis besar yang berkantor di sebuah
pencakar langit bilangan MH Thamrin, ia tak lain adalah ibu angkatku
sendiri. Orang memanggilnya Bu Siska, nama lengkapnya Francisca
Katherine S. Beliaulah yang sejak aku berumur 14 tahun mengangkatku
sebagai anak dan mengantarkan aku pada kehidupan maha mewah seperti saat
ini. Umurnya sudah memasuki 53 sekarang, perawakannya bongsor, putih,
sedikit gemuk sesuai tinggi badannya yang 169cm.

Saat itu hari minggu pagi dan aku baru saja menyelesaikan tugas dari
beliau yang memang mendesak untuk dikerjakan karena keesokannya ada
recruitment cukup besar untuk sebuah pabrik kami di Jababeka. Biasanya
hari minggu kuisi dengan jalan-jalan bersama beliau, tapi minggu ini
kami semua sibuk dan beliau harus berada langsung kantor cabang kami di
Tangerang untuk mengawasi langsung persiapan kerja senin keesokannya.
Karyawanku di bagian SDM sudah kuperintahkan utk pulang setelah
merampungkan tugas-tugasnya. Jam menunjukkan pukul 10.30 WIB, tinggal
aku sendiri diruanganku yang luas ini, melamun membayangkan review
perjalanan hidupku sejak 15 tahun yang lalu.

Rasanya aku hampir tak mempercayai dengan umur yang dini ini hidupku
begitu sesak dengan dinamika. Terlahir dari sebuah keluarga miskin di
propinsi kaya minyak bagian timur Indonesia, Bapakku meninggal saat aku
masih dalam kandungan, menyusul setahun kemudian ibuku sakit keras dan
meninggal, jadilah aku yatim piatu. Kakak perempuanku yang mengasuhku
waktu itu berumur 18 tahun menikah dengan seorang PNS di propinsi itu
yang mengasuh aku sejak bayi.

Aku tumbuh dalam keluarga kakakku yang miskin juga, namun sukurlah
kakakku mampu menyekolahkan adik dan anaknya hingga aku SMP. Setelah itu
kakakku merasa bebannya terlalu berat hingga aku diserahkan pada
keluarga kaya Bu Siska yang pada waktu itu tinggal di daerah sama. Bu
Siska dan Suaminya, pak Jimmy, memang berasal dari daerah itu. Mereka
punya perusahaan tambang yang cukup berkembang hingga saat ini menjadi
salahsatu yang terbesar di Indonesia bahkan di dunia. Karena hanya
memiliki dua anak yang semuanya perempuan, Bu Siska dengan senang hati
menerima aku untuk tinggal dan sekaligus menjadi saudara angkat kedua
anaknya, Rani dan Rina. Rani berumur sama denganku sedangkan mbak Rina
lebih tua 5 tahun. Keluarga itu memang sangat menginginkan anak
laki-laki, namun oleh sebuah masalah kesehatan, Papa Jim (begitu aku
memanggil bapak angkatku) tidak mampu lagi memberikan keturunan. Mbak
Rina dan Rani juga sangat menyayangiku. Kehadiranku ditengah keluarga
mereka semakin membuat cerah kondisi keluarga itu, hingga pada suatu
saat tragedi keluarga (yang sebenarnya menurutku adalah anugerah) itu
terjadi.

Ketika aku dan Rani berusia 15 tahun, setamat dari SMP, keluarga itu
memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Om Jim memiliki beberapa rumah mewah
di Menteng dan Pondok Indah. Bisnis keluarga itu juga telah berkembang
pesat hingga kebanyakan transaksinya harus dilakukan di Jakarta. Sebelum
itu, aku dan Rani sudah sering pula diajak dalam perjalanan bisnis Bu
Siska ke Jakarta. Om Jim lebih sering bepergian sendiri ke luar negeri
sehingga aku dan Rani lebih dekat dengan Bu Siska daripada dengan Om
Jim, sedangkan Rina waktu itu sudah kuliah di London. Aku dan Rani
bersekolah di tempat yang sama di Jakarta, SMA di kawasan elite Menteng
tempat anak-anak pejabat tinggi negara dan konglomerat bersekolah. Aku
dan Rani dekat sekali, kami tidak saja merasa seperti saudara, tapi
sudah lebih jauh dari itu. Ia merasa aku pacarnya, sebaliknya aku juga
merasa Rani adalah pacarku. Bu Siska tahu itu dan tak pernah
mempermasalahkannya. Ia mengerti, aku dan Rani tidak memiliki hubungan
darah, lagi pula keluarga itu sangat mengerti bahwa akau adalah anak
yang baik. Prestasiku di sekolah sangat bagus, tak pernah meleset dari
rangking 1 yang membuat mereka semua bangga padaku. Kalau di rumah aku
lebih sering membaca buku dan mengajari Rani pelajaran yang ia tidak
mengerti dengan baik. Kadang-kadang aku tertidur di kamar Rani yang
berada persis di samping kamarku. Lantai 3 rumah luas itu. Di luar
kamarku juga ada teras yang menghadap kebun belakang halaman rumah, aku
dan Rani sering “pacaran” disana. Dan Bu Siska sering menggoda kami
dengan mengatai “romeo dan juliet mabok!”. Tapi ia tidak marah, malah
seringkali di waktu luangnya, Bu Siska membuatkan jajanan utk kami
berdua. Sesekali ia juga sempatkan untuk bergabung ngobrol
maslah-masalah ringan seputar study kami.

RANI, CINTA DAN SEKS PERTAMA

Aku ingat hari itu di bulan November, aku dan Rani sedang berduaan di
teras kamar Rani, kami ngobrol lepas soal teman-teman centil kami di
sekolah. Aku dan Rani waktu itu duduk di kelas 2 SMA, Rani jurusan
Biologi dan aku di kelas Fisika. Rani duduk di pangkuanku, aku memeluk
sambil sesekali menciumi rambut hitam sebahunya dari arah belakang.

“Say, kamu tadi ada di perpustakaan ya?” tanyaku pada Rani, oh ya sejak
dua tahun sebelumnya, aku mulai memanggil Rani dengan sebutan “sayang”.
Itu pula yang menyebabkan keluarga itu menyebut kami “Romeo &
Juliet”.

“Iya, emang kenapa? Kamu cemburu?” jawabnya enteng,

“Ngga sih, hanya saja kalau aku yang begitu pasti udah disemprot….,”

“Iya…iya…maaf, aku ngga ngapain kok…,” Ia mendaratkan sebuah ciuman di
pipiku. Dan untuk pertama kali dalam hidupku aku membalas ciuman itu di
bibirnya, bukan ciuman tapi melumat. Hanya beberapa detik tapi cukup
untuk membuatnya gemas dan melotot penuh arti.

Selepas ciuman pertama itu ia menatapku, tatapan serius yang cukup sulit
untuk diartikan. Ada senyum terbersit di bibir tipisnya namun warna
muka yang berubah merah itu bisa mengacaukan perasaan orang yang
ditatapnya.

“Kamu marah say?” aku mengeratkan pelukan di pinggangnya.

“mmm….hhh,” ia bangkit dan berbalik menghadap aku, tapi kemudian
memeluk. Ada beberapa titik air mata terasa menetesi belakang leherku.
Kulepaskan pelukan dan menatapnya, ah si cantik saudara angkatku,
pacarku, cantik sekali !

“Kamu jahat…,” ia memberanikan diri memelukku lagi.

“Kenapa sayaaaang?” aku jadi tidak mengerti

“tadi kamu juga duduk bareng sama si Mira, aku lihat waktu jalan ke
perpustakaan, kamu ngerayu dia kan? Kamu ngga sayang aku lagi! Kamu
jahat!”

“ya ampuuun….sayang…gitu aja dicemburuin….iiiihhh, kan dia cuman minta
tolong ditulisin rumus kimia itu,” aku membelai rambutnya.

“sedekat itu untuk sekedar nanya rumus?”

advertisement

“Iya…iya aku minta maaf lagi deh, tapi sumpah demi Allah aku ngga ada apa-apa ama dia,” kucium lagi pipinya, terus ke bibir.

“mmmhhhh….benar?” ia melepaskan lumatanku sambil merengek manja.

“Beneerr…sueeerrr…!!!” aku melumat lagi, kali ini ada desiran geli di
bawah sana. Sehari-hari aku memang sering memeluknya, tapi kali ini
terasa lain, ada gelora dan sayang yang lebih terasa. Kami terus
berciuman, melumat, tanganku masuk ke dalam bajunya yang berkancing
depan.

“Boleh?” kataku meminta ijin.

“he eh…,” Rani mengangguk lemah, dan inilah pertama kali dalam hidupku
merasakan penjelajahan tubuh wanita dengan tanganku. Kancing pengait BH
nya yang juga di depan itu kulepas dan tergapailah bukit payudaranya
yang cukup ranum. Rani memang memiliki payudara besar seperti ibu dan
kakaknya, mungkin secara genotip keluarga ini punya bentuk payudara yang
besar membusung.

“Auuuhhhffff…..sayaaangg….kamu yakin ?” ia menatapku sejenak untuk
meyakinkan bahwa ini pasti akan lebih jauh dari sekedar petting. Ini
yang pertama bagi kami, aku menariknya ke kamar, kami menuju tempat
tidurnya yang luas. Ranilah yang lebih dulu melepas celana pendekku,
lalu baju kaus putih yang keukenakan, dan terakhir Cdku. Kini aku bugil
dihadapannya, Rani langsung mendekap

“Aku pasrah sayang,” sejenak ia menghentikan eksplorasi itu, mencium pipi dan melumuri wajahku dengan lidahnya

“aku yakin kita memang dijodohkan untuk ini, dan hari ini, detik ini,
jadilah orang pertama yang……….,” ia terdiam tak melanjutkan. Kemudian ia
terduduk di hadapanku.

aku meloloskan daster tipis itu dari tubuhnya, lalu Cdnya, Bhnya dan
hmmm, saudara angkatku, pacarku, kekasihku, alangkah indahnya tubuhmu.

“untuk cinta kita, sayang, kamu harus janji nggak akan ninggalin aku,”

“Aku bersumpah, sayang…..,” Dan terjadilah peristiwa itu, pelan dan
lembut sekali, Rani menghantarkan aku ke daerah pangkal pahanya yang
ternyata sudah banjir itu, dengan pasrah Rani menyerahkan seluruh jiwa
raganya untukku, aku juga mengakhiri keperjakaanku. Penis ku yang baru
kali ini merasakan hal itu otomatis mendorong masuk, Kami sama-sama
mabuk asmara. Dengan penuh kasih sayang kusetubuhi saudara angkatku yang
telah begitu baik padaku itu. Saat itu, dengan air mata berderai,
diiringi rintihan Rani dan cumbuanku, darah perawannya mengalir deras,
aku jadi tak tega pada awalnya.

“kenapa nangis sayang?,” kuhentikan gerakanku, penisku masih terbenam
dalam liang vagina yang baru saja tertembus penis untuk pertama kalinya
itu.

“yang pelan aja sayang, punyaku sakiiit banget,”

“apa kita berhenti dulu?”

“jangan say, aku rela, aku bahagia bisa mempersembahkan kehormatanku
buat kamu,” tangisnya terus mengalir seiring kata-kata mesra itu. Aku
yang tak tahan untuk terus berdiam, kugoyang perlahan sambil terus
mengecup bibir indahnya.

“iyyyaaahhhh sayaaaanggg…oooouuuffff…….pelaaan-pelaaaann…yyyaaahhh
uuhhhhff mulai…enaaakkkhhh ooouuhhh…..aku sayang kamuuuuhhh……,”

“akuuuuhhh jugaaahhhh….sayaaaanggg…oooohhhhhh, kaaalaaauuuu sakiit…hhhh
biiill aangg yaaaahhh?” sambil terengah-engah menikmati goyanganku aku
mencoba menjawab cumbuan kata-kata mesra dari bibir mungil itu.

“Boleh aku diatas, yang?” pintanya setelah beberapa saat aku menindihnya dengan gaya konvensional.

advertisement

“iyaaahh…sayang, ayo….kamu juga harus puas….,”

“kamu masih lama, kan?”

“hk..ehh,” kuangkat tubuhnya sambil merebahkan diriku ke samping,
kemaluan kami masih terpaut. Kini ia berada diatasku, mengangkang
disana, betapa menggairahkannya posisi ini kalau dilihat dari bawah,
susunya berayun-ayun mengundang tanganku menjamahnya, aku meremas, rani
sudah tak merasa sakit lagi. Ganti ia yang banyak mendesah, malah kini
berteriak-teriak histeris sambil menghempaskan pantatnya dengan keras,
aku pasif saja menikmatinya, hanya tangan dan bibirku terus memainkan
payudaranya yang kencang dan ranum itu.

“aku…..uuuuoooohhhmauuuuhhhh saaaammmm……aaahhh saaaammmpaaaaiiii…oou
uuhhhh….aaaaahhhhh…keluuuaaaarrrr….sayaaaaanggggg…….hhhhhh,” Rani
menjerit keras, diiringi dengan hempasan yang sangat kuat kearah
pinggangku, penisku otomatis menghujam keras dan mentok di dasar liang
rahimnya. Berdenyut disitu dan dengan segala sisa tenaganya Rani
menjambak rambutku, menunduk dan menyedot bibirku keras, lalu pindah ke
dadaku, ia menggigit disitu.

“aku juuuugaaahhhhhh….keluuuaaarhhhhhh oooohhh……..saaaayaaaanggg…….,”
jerit ku panjang karena mendadak penisku seperti tersedot nikmat dalam
vaginanya, tak dapat lagi kutahan cairan spermaku meluncur dengan deras
di dalam liangnya.

“saaaaamaaahhhh….saaamaaa….saaayaaaangggggg aaaakuuu ngggaakkkk kuaaat lagiii iiiihhhhh aaaaahhhhhhh,”

“yessss……….Raaaaaannnnnn…….iiiiii….saaayaaaanggggg………yaaaahhh…,”

Tergolek lemas kami berdua, masih berpelukan, berebut mengambil nafas
kepuasan yang terpancar di wajah kami berdua. Rani Bahagia sekali. Dan
dasar pemula, kami masih saling merangsang, lagi dan lagi, seperti tak
ada hari esok. Waktu merayap tak terasa selama 4 jam lebih kami
melakukannya. Sore hingga malam harinya kami saling tindih, saling
rengkuh, darah perawannya berceceran di sprei, di karpet dan di sofa.
Akhirnya kami tertidur.

Sejak saat itu aku dan Rani jadi semakin ketagihan, hubungan kami tak
lagi seperti saudara, tapi lebih sebagai suami istri. Di sekolah kami
saling mengawasi, kasih sayang kami jadi benar-benar tak bisa
dipisahkan, walaupun kami masih melakukannya secara sembunyi-sembunyi.
Rupanya Bu Siska mengetahui perubahan pada diri anaknya, namun tetap
saja ia menyayangi kami berdua. Bahkan sesekali ia menyuruhku tidur di
kamar Rani saat ia tidak dirumah. Dan kalau kami makan bersama, Rani
selalu mengambilkan makanan dimeja itu untukku. Ia tak lagi canggung di
depan keluarganya, bahkan kini Papa Jim seringkali menyindirku dengan
bertanya, “istrimu sehat, bud?” maksudnya tak lain adlah anaknya sendiri
si Rani. Kalau bicara denganku Papa Jim memang lebih sering menggunakan
terminologi “istrimu” daripada “anakku si Rani”. Sewaktu dia
mendapatkan lembar ulangan Rani yang buruk nilainya malah dia langsung
menelponku dengan mengatakan “aduh bud, gimana istrimu itu, nilai kok
hancur begitu?”. Ah beruntungnya aku. Tapi aku yakin, keluarga itu tidak
pernah tahu bahwa aku dan Rani sudah melakukan hubungan badan layaknya
suami istri. Mereka paling hanya melihat tingkah kami yang mesra itu
tanpa tahu sejauh mana hubungan kami.

Dua bulan setelah itu keluarga itu mengalami ujian yang sangat berat.
Dari Rani aku mengetahui rahasia keluarganya yang sebelumnya gelap
gulita bagiku. Ternyata Papa Jim memiliki simpanan yang cukup banyak,
perjalanan bisnisnya keluar negeri atau keluar daerah selama ini hanya
jadi kesempatan baginya untuk menjalin affair dengan banyak wanita. Bu
Siska sebenarnya sudah mengetahui semua itu sejak awal namun ia tak
kuasa begitu memikirkan keharmonisan keluarganya. Sebagai seorang ibu
yang mencintai keluarganya ia lebih mementingkan keutuhan rumahtangga
daripada ego pribadi kepada suaminya itu. Ternyata selama itu pula
keluarga Bu Siska menyembunyikan disharmoni keluarganya dariku, bahwa
kemesraan antara Bu Siska da Papa Jim hanya sandiwara untukku saja. Rani
mengakui ia telah kehilangan figur bapak pada diri papanya dan oleh
karena itulah ia begitu mendambakan saudara pria, dan begitu aku
memasuki kehidupannya ia langsung menumpahkan segala perasaan sayangnya
kepadaku. Mbak Rina juga memutuskan utk study luar negeri karena merasa
muak dengan papanya, mereka bertiga sudah merasa tak lagi memiliki ayah
atau suami sejak mengetahui rahasia papanya itu.

Ternyata pula perusahaan besar itu adalah milik keluarga Bu Siska, Papa
Jim awalnya hanyalah seorang karyawan disana yang karena pernikahannya
dengan Bu Siska mendapat jabatan direktur. Entah kenapa semenjak
mengetahui cerita tersebut dari Rani, aku jadi ikut-ikutan
menjustifikasi Papa Jim. Kini ia tak lebih baik dari seorang bajingan
tengik yang tak tahu diri. Akhirnya pada bulan itu juga, aku lupa
tanggalnya, terjadi pertengkaran yang hebat antara Bu Siska dan
suaminya. Banyak kata-kata sumpah serapah yang keluar dari mulut Papa
Jim, sedang Bu Siska tampak lebih bisa menguasai diri. Tapi ujungnya
mereka memutuskan untuk bercerai dan Papa Jim tidak diperkenankan lagi
menduduki jabatan diperusahaan itu, alias dipecat!

Aku menghela nafas panjang mendengar penuturan Rani, sore itu setelah
semua hal yang berkaitan dengan perceraian dan kepergian Papa Jim dari
rumah itu, kami (aku, Rani dan Bu Siska duduk santai di beranda belakang
lantai dua rumah itu. Bu Siska segaja membiarkan anaknya menuturkan
semua rahasia itu padaku, ia hanya terdiam sambil menyandarkan kepalanya
di dadaku. Kami bertiga memang lebih akrab lagi sejak peristiwa
perceraiannya. Aku dan Rani sepakat untuk saling membantu menghibur
mamanya agar cepat melupakan kenangan buruk itu. Aku duduk berselonjor
kaki di lesehan empuk beranda itu, bersandar di tembok. Di pundak
kananku ada kepala Bu Siska sedang Rani tiduran dengan kepalanya diatas
pahaku.

Tak ada perasaan apa-apa waktu itu karena hal yang sangat lumrah bagi
kami bertiga yang hampir tiap sore curhat ditempat itu. Sampai kemudian
Bu Siska menyuruh Rani agar masuk tidur karena terlihat matanya yang
sembab menahan tangis ketika bertutur tadi. Rani pun mengiyakan dan
beranjak ke kamarnya. Tinggal aku dan Bu Siska disana, ia masih
bersandar di bahuku, lama kelamaan mungkin karena pegal, ia pindah dan
berbaring di pahaku. Akupun sudah terbiasa dengan hal itu, kubelai
rambutnya yang sebahu, lebat dan hitam terawat. Keharuman tubuhnya
menyeruak seketika ia mengangkat tangannya membelai pipiku.

“Bud….,” panggilnya pelan sekali.

“Iya Bu…,”

“Ibu sayang sama kamu, ibu sudah menganggap kamu seperti anak ibu sendiri,”

tangannya masih membelai pipi kiriku dengan lembut,

“Terimakasih Bu, Budi juga sangat sayang pada ibu, Mbak Rina dan Rani,”

“Dan ibu juga ingin kamu benar-benar menjaga Rani dengan baik, ibu tahu
kalian tak sekedar main-main dengan hubungan kalian kan?”

advertisement

“Bu, dari mana ibu tahu hubungan kami?” aku terkejut juga, wajahku
berubah pucat membayangkan apa yang akan ia katakan kepadaku mengetahui
hubunganku dengan Rani. Aku khawatir sekali jangan-jangan ia marah dan
memutuskan hubungan itu, lebih parah lagi jika ia mengusirku dari
rumahnya. Wah bakalan buyarlah masa depanku.

Tapi melihat sikapnya yang biasa saja aku jadi sedikit tenang dan
berharap tak akan ada apa-apa saat itu. Bu Siska masih memejamkan mata
dan membelai pipiku manja.

“Ibu juga pernah muda Bud, ibu tahu hubungan kalian sudah jauh. Kalian
sudah layaknya suami istri, itu ibu bisa mengerti. Dan ibu tidak
mempermasalahkan itu karena ibu sangat menyayangi kalian berdua,”
katanya lirih. Aku meraih telapak tangan Bu Siska dan menciumnya sebagai
rasa hormatku kepadanya. Sebenarnya waktu ia mengatakan tahu hubunganku
sudah jauh itu, jantungku terasa mau copot, namun kelembutan belaian
tangannya di pipi kiriku membuat aku jadi mengerti betapa ia sebenarnya
benar-benar merestui hubungan kami.

“Terimakasih bu, saya berjanji jika diberi umur panjang maka sayalah
orang yang akan menjaga dan bertanggungjawab untuk Rani, sebenarnya saya
malu mengatakan itu kepada ibu. Karena tanpa masalah itupun saya merasa
sangat berhutang budi kepada ibu dan keluarga,” aku membelai kepalanya
dan mencium kening wajah cantik jelita itu.

“ada satu hal yang mengganjal dihati ibu Bud, itu yang ingin ibu katakan
kepada kamu. Tapi besoklah, ibu tidak ingin Rani atapun Rina mengetahui
hal itu dulu. Sebaiknya kita bicarakan besok saja di kantor, karena hal
ini butuh waktu yang lama untuk kita bicarakan,” ia beranjak bangun dan
merapikan dasternya, Bu Siska lalu mencium pipiku dan beranjak pergi.

“ibu mau siapkan bahan kerja dulu, besok sepulang sekolah tolong kamu
telpon ibu ke kantor ya? Tuh temeni istrimu bobo dulu,” katanya
mengakhiri pembicaraan,

“Trims Bu,” aku mengangguk sambil berfikir apa yang akan dibicarakan
oleh Bu Siska besok hingga harus merahasiakannya pada “istriku” si Rani.
Adakah rahasia lain lagi yang akan ia katakan kepadaku? Ah, aku
melangkah gontai ke kamar “kami”, sejak sebulan ini aku memang tak
pernah lagi tidur di kamarku. Sejak perceraian Bu Siska aku tiap malam
menemani Rani tidur, dan kami tentu saja secara rutin melakukan
“ritual-ritual” layaknya suami istri di kamarnya. Kami sudah banyak
punya koleksi blue film yang setiap habis belajar malam kami tonton
berdua untuk selanjutnya dipraktekkan langsung. Kami yang dulunya
melakukan hubungan badan karena rasa cinta itu kini tak sekedar
meresapinya tapi mengembangkannya dengan berbagai variasi. Aku yakin,
dibandingkan pasangan lain di dunia ini mungkin aku dan rani adalah
pasangan yang paling aktif, bayangkan sehari rata-rata kami bermain 3
sampai 6 kali yang dalam tiap rondenya paling cepat 45menit. Dan Rani
yang kutahu adalah tipe wanita yang multi orgasme, dalam satu ronde
permainan yang nonstop ia sanggup meraih 3 sampai 4 kali orgasme.