Namaku Ari, seorang mahasiswa tingkat akhir yg sedang sibuk
menyelesaikan skripsi, hari-hari kuhabiskan didepan laptop, bertemu
dosen pembimbing dan nongkrong di cafe begitu seterusnya. Bertemu dgn
dosen pun gampang-gampang susah, seperti hari ini misalnya aku gagal
berjumpa dosen, padahal sudah janji untuk bertemu aku pun terpaksa balik
arah meski sudah hampir sampai kampus.
Saat pulang aku singgah di kedai kopi pinggir jalan masih di sekitar
kampus, kebetulan ada penjual makanan, kedai kopi itu cukup sederhana
berkonstruksi kayu dan setengah terbuka, di seberangnya ada sungai besar
yg memisahkan kawasan mahasiswa dgn perkotaan.
Aku pun pesan kopi dan sarapan lontong, penjualnya seorang wanita usia
berusia 40 an, penampilannya seperti ibu-ibu kebanyakan, mengenakan
pakaian yg rapi dan sopan plus kacamata, sekilas ia tampak seperti
dosen, selesai makan aku menikmati sisa-sisa kopi sambil main HP,
kuperhatikan sekeliling tempatnya cukup sepi dan nyaman, angin pun
berhembus dari sungai dgn bebas, hanya saja tidak ada wifi.
Keesokan harinya aku kekampus konsul dan kembali ke tempat itu, begitu
juga hari-hari selanjutnya, akhirnya aku pun tak lagi asing bagi pemilik
kedai terutama ibu penjual lontong. Suatu hari aku sempat mengobrol
dgnnya, ternyata anaknya baru masuk kuliah di kampus yg sama dgnku, ia
lewat beasiswa bidikmisi dan tinggal di asrama.
Setelah kuperhatikan ibu ini lumayan juga bahkan di mata pemuda seusia
ku, kulitnya kuning langsat, masih ada sisa-sisa kecantikan diwajahnya,
bentuk badan juga ideal, aku pikir mungkin dulu ia jauh lebih cantik.
Ia sempat bertanya asalku dan tinggal dimana, aku pun menjawab panjang
lebar hingga tak sengaja menceritakan soal kosanku yg mau habis. Ia
mengatakan kalau di rumahnya ada kamar kosong yg jika mau aku boleh
menyewanya, tawarannya cukup menarik apalagi mencari kos-kosan di kota
ini gampang-gampang susah, aku pun meminta nomornya aku menyimpannya dgn
nama bu Fitri.
Singkat cerita sebulan kemudian aku pun pindah ketempat, menyewa kamar
3×3 meter yg berlantai keramik, awalnya aku kurang nyaman ngekos di
rumahnya karena ia sendirian apalagi ia seorang janda yg sudah bercerai
dgn suaminya karena KDRT, sedangkan Putri anaknya tinggal di asrama
meski ia hampir setiap hari pulang kerumah karena letak asrama masih di
kawasan itu.
Sehari-hari aku memang jarang di rumah, lebih sering di kedai kopi atau
kekampus menyelesaikan, hubunganku dgn beliau serta putrinya cukup baik,
bahkan kami cukup akrab seperti bagian dari keluarganya, kadang aku
juga membantunya belanja.
Saat dirumah aku biasa mengenakan celana panjang dan kaos, begitu juga
dgn ibu yg biasa mengenakan daster dan hijab, namun lama-lama aku merasa
gerah dan mulai mengenakan celana pendek, ibu juga tak lagi mengenakan
hijab dan mengenakan pakaian seadanya, seperti kaos dan celana selutut
hingga sebagia tubuhnya terlihat seperti betis dan kakinya yg putih dan
indah.
Suatu malam aku sedang malas keluar, kebetulan cuaca juga mendung,
kuhabiskan waktu di kamar sambil buka-buka laptop, skripsiku kini hanya
tinggal bab 4 dan 5, aku berniat menonton film namun tak ada lagi film
baru.
advertisement
Aku kedapur untuk mengambil minum, kulihat ibu tidak ada didepan TV
seperti biasanya, saat kembali pintu kamarnya sedikit terbuka, pikiran
iseng mendorongku mendekat.
Dari celah pintu kulihat terlihat kedua kakinya menjulur keluar daster
sepertinya ia sudah tidur, tapi kenapa pintunya tidak di tutup rapat?
pikirku, aku terus mendekat untuk melihat lebih jelas namun ternyata ia
belum tidur, dan sialnya ia sempat melihat kearahku.
“Ada apa Ari?” terdengar suara dari dalam kamar.
“Ehh.. enggak buk, Ari kira ibu kemana” kataku menjauh dari kamarnya.
“Ibu kurang sehat nak” balasnya.
Mendengar jawabannya aku merasa khawatir dan dgn santainya aku masuk
kedalam, saat itu ia masih berbaring dan mengatakan sedang tidak enak
badan, mungkin karena kelelahan, namun aku khawatir dan duduk di
pinggiran ranjang, kucoba memijit tangannya perlahan.
“Udah Ari, ibu gak apa-apa” katanya sambil memegang tanganku.
Namun aku terus memijitnya dari bahu turun ke pergelangan tangan,
bergantian kiri dan kanan, beliau akhirnya diam saja membiarkanku, aku
terus memijit bagian lain yaitu kedua kakinya yg putih dan indah.
“Aduh Ari…udah lah, udah malam kamu besok harus ke kampus” ulangnya.
Namun lagi-lagi aku tak menggubris dan terus memijit, aku hanya melempar
senyum kearahnya, ia memandangku setengah heran, ada apa gerangan.
“Buk belakangnya belum di pijit”, kataku sambil mendekat.
advertisement
Kali ini ia tak menjawab dan langsung membalikkan tubuhnya
membelakangiku, tanganku terus bermain mulai dari pundak hingga
pinggangnya, sepertinya ibu mulai merasa enak, tak ketinggalan kedua
kakinya yg tak luput dari sentuhanku, betisnya yg indah dan mulus itu
lama-lama membuatku bergejolak, sambil memijit kupegang punyaku dgn
tangan kiri, terasa menegang sempurna, aku benar-benar tak kuat
menahannya.
Ibu lalu berbalik seperti semula, sebuah ciuman tiba-tiba mendarat di
pipinya membuatnya terkejut dan kembali menatapku heran, sesaat aku
terpaku dan salah tingkah dibuatnya, namun hasratku yg sudah terlanjut
bangkit mendorongku untuk melanjutkan, aku kembali mencium pipinya lalu
mencumbu, ia sempat mendorongku namun tidak berhasil karena aku sudah
lebih dulu mendekapnya.
Kucoba mencium bibirnya namun tak berhasil, ia memalingkan wajahnya
kesamping mengelak, aku turun kebagian bawah dan menciumi tonjolan
dadanya yg masih dibalut pakaian terasa kenyal dari luar, tangannya
masih berusaha menolakku meski aku bisa merasakan nafasnya mulai tak
beraturan, namun usaha setengah pasrah itu kembali terhenti, membuatku
semangat dan nafsuku semakin tinggi.
Tak ingin buang-buang waktu aku naik dan menindih tubuhnya, dalam posisi
tersebut aku menciumi sekitar leher dgn lembut dan penuh semangat,
kucoba mencium bibirnya ia kembali mengelak. Kurasakan bagian bawah
sudah sangat mengeras, kupaskan posisi agar mengenai miliknya,
kugesekkan perlahan sebagai tanda aku ingin melakukan hal tsb.
Ibu Fitri tak memberi respona apapun sepertinya beliau sudah pasrah,
masih dgn posisi menindih perlahan kusingkap daster yg ia kenakan hingga
pahanya terlihat, begitu juga celana dalamny yg berwarna putih.
Kuturunkan celana dalam dgn kedua tanganku, lagi-lagi ia hanya pasrah
meski berusaha menutupi miliknya dgn daster, aku turun dari ranjang
untuk melepas celana, kini punyaku yg sudah tegang terpampang jelas
dihadapan bu Fitri, meski berusaha berpaling ia pasti sempat melihatnya,
aku sudah tidak peduli lagi yg ingin kulakukan hanyalah memasukkan
punyaku kedalam miliknya yg kuyakini sudah lama tak ‘berpenghuni’.
Aku kembali ke ranjang menyingkap dasternya untuk menuntaskan hasratku
yg tak lagi tertahan, kulihat barangnya penuh dgn rambut yg tidak begitu
lebat, melihatku yg tertegun ia mengalihkan pandangannya seakan malu,
tiba-tiba sebuah tangan menutupi selangkangannya itu.
“Jangan ya nak”, kata bu Fitri memandangku dgn wajah memelas, dari espresinya aku bisa melihat ia sebenarnya juga ingin.
“Bu..Ari udah gak kuat, boleh ya..” kataku dgn suara serak dgn wajah memohon.
Kudekatkan wajahku dan mulai menciumi pipi kanan dan kiri.
“Nanti Ari buang diluar, Ari janji..”, bisiku ditelinganya.
advertisement
Aku kembali ke posisi semula, kupindahkan tangannya yg menutupi bagian
selangkangan, kubetulkan kedua pahanya hingga terbuka lebar, jantungku
mulai tak karuan, kuarahkan punyaku ke miliknya dan menekannya perlahan
hingga masuk sebagian, aku sama sekali tidak kesulitan melakukannya,
apalagi miliknya sudah cukup basah, raut wajah bu Fitri tampak gelisah
seperti pengantin baru di malam pertama, saat kutatap matanya ia
cepat-cepat membuang pandangan.
Tanpa kusadari punyaku sudah tenggelam seluruhnya, kini aku tinggal
‘memompanya’ seperti yg kulihat di film porno, beberapa menit berselang
aku merasakan miliknya berkedutan dan semakin basah, mungkin inilah yg
disebut puncaknya pada wanita, aku semakin bersemangat menggoyang
tubuhnya, kupercepat gerakanku tak sabar ingin merasakan hal yg sama
dgnnya.
“Bukkk…” kataku setengah mendesah, cepat-cepat kucabut barangku keluar
dan “Ahhh….” crot crot crot, aku menyemprot diatas perut hingga, cairan
putih itu berceceran di perut dan mengenai dasternya yg masih ia
kenakan.
Ada rasa lega malu dan juga rasa bersalah setelah melakukan hal itu, aku
tak tahu apa yg dirasakan olehnya, kubersihkan hasil perbuatanku di
perutnya dgn celana dalam tanpa sekalipun melihat kearahnya, setelah
mengenakan pakaian aku keluar kamar, dan kembali kekamar ku untuk tidur.