Sudah dua hari ini aku berada di kampung halaman suamiku. Aku dan suami
terpakasa harus pulang karena ayah mertuaku mendadak sakit. Sebenarnnya
suamiku menyuruhku tinggal di rumah saja. Tetapi, aku memaksa ikut
karena juga ikut khawatir dengan keadaan ayah mertuaku. Lagipula di
rumah aku takut jika harus berdua dengan anakku yang masih berumur 5
tahun.
Semenjak kedatanganku ke sini, ayah mertuaku belum menunjukkan kemajuan
soal kesehatannya. Sudah berulangkali suamiku memanggil dokter untuk
datang ke rumah. Tetapi, tetap saja kesehatan ayah belum juga membaik.
Akhirnya, suamiku dan saudara-saudaranya memutuskan untuk membawa ke
rumah sakit di kota.
“Aku harus mengantar bapak dulu ke kota,” kata suamiku, “kamu di sini saja. Ada Ibu dan Mbak Ana di sini.”
Aku mengiyakan perintahnya. Mbak Ana adalah istri dari saudara suamiku.
Jadi, yang ikut ke kota hanyalah Ma Eko, suamiku, dan Mas Baim dan satu
lagi, Mila, adik bungsu suamiku yang masih belum berkeluarga.
Di rumah aku banyak menemani Kayla, anakku, bermain. Sebab untuk urusan
rumah tangga sudah ada ART yang mengerjakan. Jadi, aku tak punya banyak
kegiatan di sini. Ibu mertuaku biasanya juga melarangku untuk
mengerjakan urusan rumah tangga. Aku benar-benar bisa dibilang santai
jika pulang ke kampung suamiku ini.
“Ajak Kayla main ke muara, Yu,” kata ibu, “di sana banyak perahu yang menambat. Biasanya anak-anak senang kalau melihat perahu.”
Maka kuajak Kayla ke muara seperti yang dianjurkan ibu. Jadi, kampung
halaman suamiku ini bisa dibilang agak di pesisir. Banyak warga di
sekitar rumah yang menjadi nelayan, tentunya. Ayah mertuaku sendiri
adalah salah satu juragan yang punya kapal penangkap ikan dan punya
banyak anak buah.
Di sekitar muara memang sering kali banyak perahu yang berlabuh saat
sore hari. Biasanya banyak para nelayan yang sibuk menyiapkan perahunya
untuk digunakan melaut di malam hari. Kayla tampak senang saat sampai di
muara. Ia bisa melihat banyak perahu-perahu. Wajahnya tampak antusias
sekali. Bahkan ia mengajakku berlari-lari melihat perahu satu per satu.
Saat Kayla mengajakku berlarian, tanpa sengaja aku melihat pemandangan
yang tidak seharusnya aku lihat. Di salah satu perahu yang letaknya agak
tersembunyi, ada salah satu nelayan yang terlihat hanya mengenakan
celana dalam saja. Ia tengah sibuk membuang air yang masuk ke dalam
perahunya. Meski tidak begitu jelas karena jarak yang cukup jauh, tapi
aku bisa memastikan kalau nelayan itu masih tampak muda. Mungkin tidak
jauh beda dengan suamiku.
Aku tidak tahu seolah-olah mataku tertarik untuk terus menerus
memandangnya. Jika situasinya mendukung, barangkali aku sudah
menikmatinya sampai puas. Apa karena sosok tubuh nelayan itu yang tampak
gagah? Terlihat dari otot-otot paha dan lengannya. Mungkin kejamnya
lautan membuat tubunya terbentuk sedemikian rupa. Atau juga karena
tonjolan di CD abu-abunya yang besar? Ah, entahlah. Seharunsya aku tak
membayangkan hal itu.
Beruntung, Kayla membuyarkan lamunanku, “Mama, ayo pulang. Siapa tau papa sudah pulang.”
Tentu saja suamiku belum pulang. Menurut kabar, ayah mertua harus
mendapatkan perawatan yang intensif. Alhasil, suamiku tidak bisa
meninggalkannya. Apalagi jarak ke kota dari kampung lumayan jauh. Aku
hanya bisa berkomunikasi dengannya lewat telpon dan chat.
Saat menemani Kayla tidur, tiba-tiba pintu depan ada yang mengetuk. Aku
bangkit dari tempat tidur. Kulihat ibu sudah tidak ada di depan tv
(biasanya ibu tertidur di depan tv). Ketika kubuka pintu depan, kulihat
seorang lelaki berdiri di sana.
“Siapa ya?” tanyaku.
“Saya Ahmad, anak buah Pak Bagus,” jawabnyak. Pak Bagus adalah ayah mertuaku. “Apa bapak sudah pulang?”
“Oh. Belum. Bapak masih di rumah sakit,”
“Wah, baiklah kalau begitu. Saya balik dulu, mbak.”
“Iya,”
Tunggu. Sepertinya aku pernah melihat laki-laki itu. Bukankah dia
laki-laki yang di kapal itu? Laki-laki yang hanya memakai CD saja?
Laki-laki yang menarik perhatianku saat di muara tadi? Ya, aku bisa
pastikan kalau dia adalah laki-laki di kapal tadi. Jadi, dia adalah anak
buah ayah mertuaku?!
“Ahmad,” aku memanggilnya. Aku juga tidak tau kenapa aku melakukan hal
ini. Seolah ini adalah panggilan dari batinku. Ahmad, yang belum jauh
berjalan, berbalik menujuku. Aku menghampirinya.
“Ayah masih belum bisa pulang. Beliau harus dirawat secara intensif.
Jadi, mungkin agak lama di sana. Tapi doakan semoga cepat membaik. Apa
kamu ada sesuatu yang mau disampaikan?”
“Hmmm. Sebenarnya saya mau bertemu Mas Baim (kakak suamiku). Ada masalah
pekerjaan yang harus saya laporkan. Tapi, sepertinya beliau masih di
rumah sakit, jadi saya batalkan saja.”
“Apa itu penting? Kalau iya, lebih baik kamu sampaikan segera saja.”
“Baik, mbak. Biar nanti saya telpon saja.”
Ahmad pun ijin balik. Aku pun kembali ke dalam rumah dan segera masuk
kamar. Di dalam kamar, aku masih terbayang pemandangan di kapal tadi.
Aku terbayang tubuh kekar Ahmad dan tonjolan di CD-nya. Jujur birahiku
naik saat membayangkan hal itu. Ah, apa-apaan aku ini! Dan setelah
kulihat secara deket, memang benar-benar gagah. Wajahnya juga lumayan
tampan. Meskipun kulitnya agak gelap.
Pagi hari suamiku menelpon memintaku mengantar baju ke rumah sakit. Saat
kutanya bersama siapa aku harus ke sana, suamiku bilang bahwa ada anak
buah ayah yang juga akan pergi ke kota. Kujawab saja kenapa tidak
dititipkan pada anak buah ayah saja bajunya. Tetapi, suamiku menjawab,
“Aku kangen, yang. Hehehe.”
advertisement
Anak buah ayah yang dimaksud adalah Ahmad. Ahmad ditugaskan ke kota
untuk membeli beberapa perlengkapan kapal oleh Mas Iwan. Aku tidak
menyangka bahwa anak buah yang dimaksud adalah dia. Aku tak bisa menutup
kebahagiaanku. Walaupun hanya berduaan dalam perjalanan, setidaknya aku
bisa mengobrol berdua saja dengannya. Aku akan berdua dalam mobil
bersamanya.
Ternyata yang dimaksud ‘kangen’ oleh suamiku adalah kangen yang lain.
Rupanya dia tidak tahan berlama-lama tidak berhubungan intim. Alhasil,
karena tidak ada tempat yang memungkinkan lagi, kami melakukannya di
kamar mandi. Mas Baim dan adik bungsu suamiku, Mila, sepertinya paham
dengan situasi. Mereka begitu saja keluar dengan alasan akan membeli
sesuatu. Mereka kembali tak lama setelah kami selesai.
Ahmad kembali menjemputku pukul setegah 4 sore. Aku pamit pada suamiku
dan yang lainnya untuk pulang. Ahmad lebih banyak diam daripada saat di
perjalanan sebelumnya.
“Tadi beli apa, Mad?” tanyaku.
“Eh, beli alat untuk mesin kapal.”
“Oh,” jawabku. “Omong-omong, kamu sudah lama ya kerja sama bapak?”
“Belum lama. Mungkin satu tahunan.”
“Pantesan saya gak pernah lihat kamu,” jawabku. “Tapi hebat baru sebentar kerja, udah dipercaya bawa mobil.”
“Hehehe. Iya, mbak. Dipercaya juga bawa istrinya Mas Eko.”
“Iya. Makanya dijaga baik-baik.” godaku. “Pastikan selamat sampai tujuan. Jangan dibawa kabur. Hehehe.”
Ahmad hanya tertawa mendengar jawabanku.
“Mad, kamu belum punya istri?”
“Sudah, mbak. Tapi cerai.”
“Gak cari istri lagi?”
“Belum dapet, mbak.”
“Kesepian dong. Hehehe.”
“Yah, kalau kesepian dibawa melaut aja, mbak.”
“Kalau kepengin?” Aku mulai memancingnya.
“Hahaha. Ya, dibiarin keluar sendiri aja.”
“Emang bisa ya?”
“Bisa dong, mbak. Mau lihat?”
“Ih, apaan sih?” jawabaku sambil tersenyum.
“Kalau mbak lagi pengin enak ya tinggal minta. Hehehe.”
“Iyalah. Kan ada suami.”
“Hmm. Kayanya Mas Eko pinter muasin istri deh.”
“Ah, biasa aja.”
advertisement
“Pasti punya Mas Eko besar ya, mbak?” tanya Ahmad sembari tersenyum.
“Ah, omonganmu kok makin nakal sih.” Jawabku. Tapi tidak marah pada Ahmad.
“Buktinya selalu bisa muasin istrinya. Hehehe.”
“Tidak besar. Tapi tidak kecil juga. Standar lah.”
Dalam hati aku sebenarnya berkata, “Jelas lebih besar punyamu.” Memang
aku tak melihatnya langsung. Tapi setidaknya itu yang bisa aku tebak
dari balik CD-nya waktu itu.
“Segini, mbak?” Tiba-tiba saja tangan Ahmad menarik tanganku dan
membawanya ke selangkangannya. Aku terkejut karena kurasakan ada benda
panjang dan keras. Kurasakan penis Ahmad sudah menegang.
Aku melihat ke wajah Ahmad. Seolah menanyakan apa maksud dari semua ini.
Tapi Ahmad tidak menjawab. Dia memberi perintah padaku untuk meremasnya
lewat tangannya. Aku pun seolah menurut saja dengan mulai melakukan
gerakan meremas pada penis Ahmad. Ahmad tampak tersenyum padaku.
Semakin lama kurasakan penisnya makin menegang. Ahmad juga mulai tampak
mendesah. Kuperintahkan dia juga fokus menyetir agar tidak terjadi
kecelakaan. Perjalanan masih cukup jauh. Di tengah perjalanan Ahmad
menghentikan kendaraan.
“Mau apa?” kutanya.
“Pipis.”
Ahmad turun dari mobil sementara aku masih di dalam. Ahmad berjalan
menuju pinggir jalan dan dalam kegelapan kulihat dia mulai membuka
celananya. Ah, andaikan aku bisa melihatnya, pikirku. Tak lama kemudia
dia kembali. Tanpa kuduga dia membuka celana pendeknya begitu juga
dengan CD-nya. Aku terkejut. Dalam remang-remang cahaya lampu di dalam
mobil, aku bisa melihat penis Ahmad. Benar dugaanku kalau ternyata
miliknya jauh lebih besar dari suamiku. Penisnya agak tidur semenjak
mengeluarkan air kecingnya. Tapi tetap tampak perkasa di depanku.
Bulu-bulu di pangkalnya tampak lebat. Aku ingin sekali menyentuhnya dan
merabanya sampai dadanya yang bidang. Astaga. Kurasakan vaginaku mulai
gatal.
“Kok diliatin, mbak?” kata Ahmad. “Pegang aja.”
Kembali tangannya menuntunku menuju ke selangkangannya. Sekarang
gerakanku tidak meremas lagi melainkan mulai mengocok. Dan itu tanpa
diperintah Ahmad.
“Kamu kenapa buka celana?”
“Ngasih hadian buat, mbak. Hehehe.”
“Hadiah? Hadiah buat apa?”
“Ya hadiah. Lagian mbak kan gak pernah pegang kontol yang gede? Katanya punya Mas Eko standar? Hehehe.”
Aku tak menjawab. Harusnya aku membela begitu mendengar ucapannya
tentang Mas Eko, suamiku. Tapi aku tetap melakukan gerakan mengocok di
penis Ahmad.
“Pasti belum pernah ngerasain kontol gede juga ya, mbak?” tanyanya sambil tertawa.
“Ih, sok tau.”
“Lha, sama siapa?”
“Ada deh.”
Sebelum dengan suamiku, aku sudah pernah melakukan hubungan suami istri
saat masih kuliah. Aku melakukannya dengan mantan pacarku saat kuliah
dulu. Penisnya hampir tak jauh berbeda dengan milik Ahmad. Sama-sama
besarnya. Suamiku sudah tau soal ini. Dia menerima semuanya.
“Mad, udah mau sampe nih. Buruan pake celanamu.”
“Tenang, mbak. Ini udah malem. Udah pada tidur.”
Sampai masuk kampung dan bahkan sampai masuk ke halaman rumah, Ahmad
belum juga memakai celananya. Gila bener orang ini, pikirku. Mesin pun
mati dan kami belum ada yang turun.
advertisement
“Mbak, kocokin lagi dong sampe keluar.”
“Nggak, ah. Nanti ada yang lihat.”
“Gak ada, mbak. Udah pada tidur.”
Seolah termakan dengan rayuannya, tanganku bergerak ke arah
selangkangannya. Sambil memerhatikan keadaan sekitar, aku mulai
melakukan gerakan mengocok. Penis Ahmad perlahan mulai mengeras. Gerakan
tanganku semakin kupercepat. Tangan Ahmad juga tak mau tinggal diam.
Dia bergerak ke balik bajuku dan meraih payudara dan segera meremasnya.
Kudengar nafas Ahmad mulai memburu. Tangannya semakin nakal
mempermainkan payudara dan putingku. Aku mendesah begitu puting susuku
dimainkan oleh jari-jarinya. Seiring dengan desahanku, gerakan tanganku
semakin cepat dan kurasakan penis Ahmad benar-benar tegang. Sampai
akhirnya, penis Ahmad berkedut-kedut dan kulihat cairan putih menyembur
ke mana-mana. Ahmad menegang menikmati pucak birahinya itu.
“Ah…ah…ah…”
Spermanya berhamburan ke mana-mana. Segera ia meraih celananya dan
membersihkan tanganku yang terkena semprotan pejuhnya. Selanjutnya ia
membersihkan tempat-tempat lainnya.
“Sudah. Cepet pakai.” Pintaku pada Ahmad. Ahmad pun menuruti.
Sebelum turun, aku menggodanya, “Badan dan kontol aja yang kekar. Tapi gak tahan lama.”
“Wah, nanti kutunjukkan kemampuanku yang sebenarnya sama mbak.”