MESIN PENGHAPUS MEMORI

 “Selamat, Iko!” kata supervisorku sambil menyalamiku dengan bangga.

“Terima kasih, Prof. Tanpa bantuan anda, saya tidak mungkin berhasil,” jawabku sungguh-sungguh.

Aku baru saja selesai mempresentasikan dan membuktikan bahwa penemuanku
bisa diaplikasikan kepada manusia, dihadapan tim penguji yang merupakan
profesor-profesor senior. Tim penguji, sejumlah tiga orang, semuanya
memberikan nilai penuh kepadaku. Aku dinyatakan lulus. Proyek ini adalah
bagian dari pemerolehan gelar masterku.

Itu terjadi dua tahun yang lalu, titik awal pencapaianku. Sebuah mesin
penghapus memori, yang aku rancang untuk membantu orang menghilangkan
trauma dengan cara menghapus memori-memori tertentu yang menyebabkan
trauma tersebut. Cara kerja alat itu simpel, cukup memasukan kode
pemograman terkait memori yang akan dihapus. Mesin penghapus memori
kemudian akan memancarkan sebuah gelombang elektromagnetik. Kita tinggal
mengarahkan gelombang itu kepada seseorang dan gelombang itu akan
memudarkan memori tertentu pada orang itu. Karena masing-masing orang
memiliki karekter yang berbeda-beda, maka mesin ini pun memberikan
efek-efek yang berbeda-beda. Mesin ini dapat menghapus memori dengan
presentase hingga 100%.

Dua tahun terakhir aku mencoba mengembangkan mesin ini supaya dapat
digunakan untuk memancarkan gelombang dengan radius yang lebih luas
sehingga dapat digunakan untuk mempengaruhi memori orang-orang dalam
satu wilayah tertentu, sekaligus. Ini akan bermanfaat untuk membantu
menghilangkan trauma yang dialami para korban bencana alam pada suatu
daerah. Metode uji cobanya mudah, aku akan memprogram mesin ini untuk
menghilangkan sebuah memori dan kemudian memancarkan gelombang dengan
kekuatan tertentu dari satu titik, kemudian aku akan mengobservasi
beberapa orang yang berada disekitar titik tersebut untuk mengetahui
seberapa jauh radius efeknya. Tentu saja aku sudah mendesain sebuah helm
khusus yang akan aku kenakan untuk menangkal gelombang tersebut, jika
tidak, aku juga akan terkena dampaknya. Permasalahan terberat dari uji
coba ini adalah menentukan memori yang akan dihapus. Aku harus
memastikan memori itu dimiliki oleh banyak orang. Setelah
berminggu-minggu memikirkannya, akhirnya, muncul ideku untuk menghapus
memori seseorang tentang SEX karena aku yakin hampir semua orang dewasa
pasti memiliki memori tentang SEX.

Berikutnya adalah menentukan lokasi uji coba. Kuputuskan untuk melakukan
uji coba di daerah tempat tanteku tinggal. Dia tinggal di daerah yang
agak terpencil sehingga akan lebih mudah bagiku untuk memantau hasil uji
cobaku.

Tante Ririn namanya, adalah kakak dari ibuku, umurnya 44 tahun. Desa
tempat tinggal Tante Ririn berjarak sekitar 300 km-an dari ibukota.
Tempatnya sangat sepi, penduduknya tidak bayak, kebanyakan orang tua dan
orang yang menyukai ketenangan, seperti tanteku. Penduduk desa
menghabiskan hari-harinya dengan beternak dan berkebun, termasuk Tante
Ririn yang memiliki sebuah peternakan besar.

Rumah Tante Ririn cukup besar terdiri dari dua bangunan terpisah.
Bangunan utama yang memiliki tiga kamar tidur berada di depan, di sini
tempat Tante Ririn tinggal. Seringnya Tante Ririn tinggal sendiri karena
suami Tante Ririn, Om Jono, bekerja di ibukota. Biasanya, setiap dua
minggu sekali dia baru pulang ke rumah mengunjungi istrinya. Selain itu,
anak tunggal mereka sudah menikah dan juga tinggal di ibukota. Bangunan
kedua berada di belakang dipisahkan oleh taman kecil dari bangunan
utama. Pembantu dan beberapa pekerja peternakan Tante Ririn menghuni
bangunan di belakang ini.

Kedatanganku di rumah Tante Ririn disambut hangat olehnya. Meskipun aku
jarang berkunjung ke rumah Tante Ririn tetapi hubunganku dengan Tante
Ririn cukup akrab sehingga tidak ada rasa canggung ketika aku akan
menghabiskan beberapa hari di rumahnya. Sebelumnya aku sudah memberitahu
Tante Ririn maksud kedatanganku. Aku bilang bahwa aku sedang melakukan
penelitian dan butuh tempat baru agar pikiranku lebih segar, tentu saja,
aku tidak menceritakan detil penelitianku ke padanya.

Setelah menghabiskan beberapa hari untuk persiapan, tibalah hari uji
coba. Hari masih agak siang tapi suasana di luar gelap, hujan gerimis
membuat suasana menjadi syahdu. Aku sudah memasukan program pada mesin
penghapus memori. Aku kenakan helm penangkal. Setelah aku yakin semuanya
siap, aku tekan tombol untuk memancarkan gelombang. Mesin mendengung
halus, menandakan dia mulai bekerja. Tetapi tidak lama, suaranya menjadi
berisik tidak beraturan. Aku mulai curiga. Sejurus kemudian percikan
api keluar dari mesin tersebut diikuti sebuah ledakan kecil dan kepulan
asap. Kemudian sunyi. Aku hanya bisa melongo.

Aku melupakan satu hal penting. Listrik. Daya utama mesin itu. Berbeda
dengan di ibukota yang tegangan listriknya stabil, tegangan listrik di
desa ini tidak selalu stabil. Walhasil, mesinku kelebihan beban listrik
dan rusak. Tidak mungkin aku perbaiki saat ini, karena sepertinya ada
beberapa komponen yang harus diganti dan hanya bisa ku dapatkan di
ibukota.

“ANNJIIIINGGG!” teriaku kesal.

Menit demi menit kuhabiskan mengutuki kecerobohanku. Hari sudah
menjelang sore, aku malas sekali jika harus kembali ke ibukota sekarang.
Jadi kuputuskan untuk pulang besok pagi-pagi. Terus mau ngapain aku sekarang di tempat sepi ini?
tanyaku dalam hati. Untungnya sinyal internet di desa ini cukup bagus.
Untuk meredakan rasa kesalku, aku menyibukkan diri dengan smartphoneku,
tiduran di sofa ruang tamu sambil menunggu Tante Ririn pulang dari
peternakan.

Kebetulan terdapat grup chat di aplikasi perpesananku yang sedang aktif,
aku asyik berbalas komentar, bercanda, hingga seorang temanku mengirim
sebuah video bokep. Aku memutar video tersebut, adegan demi adegan syur
membuat libidoku naik dan membuat batang kemaluanku berontak dari dalam
celana. Karena merasa di rumah sepi dan biasanya sore begini tidak ada
pembantu Tante Ririn yang masuk ke rumah utama, maka kulepaskan saja
celana dan celana dalamku. Burungku mulai berdiri dengan kencang dan
kokohnya, batangnya yang hitam kemerah-merahan berdenyut-denyut. Bulu
kemaluanku yang rimbun bergoyang mengikuti denyutan batangku. Aku memang
jarang mencukur bulu kemaluanku tidak ada alasan tertentu hanya malas
saja. Aku diamkan sesaat, sampai akhirnya kupegangi sendiri batang
kemaluanku itu dengan tangan kananku. Mataku tetap konsentrasi ke layar
smartphone, melihat adegan-adegan yang semakin memanas. Burungku, kini
telah kukocok-kocok, bervariasi, kadang lambat dan kadang cepat
mengikuti sensasi yang ingin ku rasakan. Setelah sekian lama, aku merasa
sudah tidak kuat lagi menahan gelombang kenikmatan yang terus
menghantam dan akan meledak.

“AGGHHHHHH!!!” Aku mengerang keenakan. Crooott! Croottt!! Maniku aku tembakkan di lantai. Aku terkapar lemas.

Ternyata tanpa aku sadari, sepasang mata melihat ke arahku dengan tidak
berkedip dari balik cendela ruang tamu, dia rupanya melihat semua yang
kulakukan tadi. Aku baru saja membersihkan batang kemaluanku dengan tisu
ketika orang itu masuk ke ruang tamu, yang ternyata aku lupa kunci
pintunya.

“Iko, sedang apa kamu?” katanya tiba-tiba.

Bagaikan disambar geledek, aku kaget bukan main, ternyata Tante Ririn
sudah ada di hadapanku. Aku gugup, malu, dan bingung harus berkata apa.

“Eh, Tan … te … sudah pulang?” jawabku salah tingkah.

“Kamu tidak sakit kan?” tukas Tante Ririn melihatku masih terengah-engah dengan muka memerah.

“Sakit?” kataku bingung, aku menggeleng.

“Itu kenapa kamu tidak pakai celana? Kok main titit begitu?” tanyanya lagi.

Aku curiga, “Oh … i … i … ini, Iko habis … o … olahraga, Tante,” jawabku asal sambil untuk mengetes reaksi tanteku.

“Olahraga?” tanya Tante Ririn heran. “Tante belum pernah lihat olahraga seperti itu, olahraga apa?”

Jangan-jangan?! batinku dalam hati, “SEX namanya, Tante,” jawabku sambil menahan luapan kegembiraan.

“SEX? Aneh banget namanya, belum pernah dengar Tante,” komentar Tante Ririn terkekeh.

YESS! YESS!! YESSS!!! teriakku dalam hati. Sepertinya, sebelum
meledak tadi alat penghapus memoriku sudah sempat memancarkan gelombang
dan entah bagaimana Tante Ririn sepertinya sudah terpapar gelombang
tersebut.

“Sini … sini deh, Tante, Iko kasih tau.” Dengan antusias aku menarik
Tante Ririn duduk di sebelahku, rasa gugup dan maluku sirna sudah.

“Olahraga ini sedang populer di ibukota, Tante,” entah kenapa aku jadi
mengacau, “Caranya gampang, seperti senam, Tante. Kita tinggal mengikuti
instruksinya.”

“Instruksi?” Tante Ririn semakin bingung.

“Ini ada videonya, Tante mau lihat?” kataku sambil menyodorkan smartphoneku tanpa menunggu persetujuan Tante Ririn.

Kuputar ulang lagi bokep dari temanku tadi. Tante Ririn menontonnya
dengan penasaran, adegan demi adegan dilihatnya dengan penuh perhatian.
Aku sendiri termenung menyaksikan bahwa, di depanku, tante ku sendiri,
sedang menonton bokep dengan tenangnya tanpa tahu itu apa. Aku yang
masih belum memakai celana ikut melihat lagi film itu. Adegan-adegan
erotis kembali membuat batang kemaluanku tegang dan berdiri, kubiarkan
saja. Lama kelamaan, aku tidak melihat ke arah film itu, pandanganku
beralih ke Tante Ririn, menelusuri tubuhnya. Tante Ririn tergolong masih
menarik untuk perempuan seusianya. Meskipun seluruh bagian tubuhnya
telah menunjukkan usianya, tetapi jejak-jejak keemasan masa mudanya
masih belum hilang. Wajahnya tirus, rautnya ayu, dihiasi rambut lurus
sebahu. Tante Ririn tidak lebih tinggi dariku, badan rampingnya dibalut
dengan kulit yang cerah. Entah kenapa, aku jadi semakin terangsang
melihat Tante Ririn. Aku jadi berandai-andai bisa bermesraan dengannya,
merengkuh kenikmatan bersama. Ahhh … nafsuku kian membara karena
memikirkan hal itu. Ini sudah di luar kendaliku. Tidak terasa, film
bokep itu sudah selesai.

“Iko, tititnya kok berdiri?” Suara Tante Ririn memecahkan keheningan, “Kamu benar tidak apa-apa?”

“Iya tante, biarin aja, Iko gak apa-apa. Gimana tante dah tau kan olahraga SEX?” balasku santai.

Tante Ririn hanya mengangkat bahunya. “Sepertinyanya capai sekali ya
sampai pada ngos-ngosan begitu,” komentarnya, “tapi itu di video berdua,
kenapa Iko cuma sendiri saja?” tanyanya.

“Nah, itu asyiknya olahraga ini, Tante. Bisa sendiri aja, berdua, atau bahkan rame-rame.”

“Oh, begitu,” katanya mengangguk-ngangguk, “Ok deh tante mandi dulu ya,
badan tante lengket nih seharian di peternakan,” katanya sambil
meninggalkanku menuju ke kamar mandi.

Aku hanya bisa melongo.

§​

Malamnya aku jadi susah tidur. Kepalaku memikirkan banyak hal, tapi
tidak soal mesin penghapus memori. Berbagai hal berputar-putar di
kepalaku, mulai dari kemungkinan menyetubuhi Tante Ririn, hingga
kekhawatiranku jika Tante Ririn cerita ke orang lain. Tentu saja orang
lain yang tidak terkena dampak mesin penghapus memori akan curiga
melihat sikap tante Ririn jika membahas SEX. Aku tidak tahu pasti
seberapa jauh mesin itu telah memancarkan gelombang dan seberapa jauh
telah mempengaruhi penduduk desa ini. Aku harus mulai mengobaervasi
penduduk desa mulai besok, dan harus mencegah Tante Ririn untuk tidak
bercerita dulu kepada orang lain. Kuputuskan untuk menunda pulang ke
ibukota. Semalaman aku memikirkan cara untuk bicara ke Tante Ririn
hingga akhirnya aku tertidur sendiri karena kecapekan.

§​

Tok tok tok. “Iko … bangun, Nak, sarapan.” Tante Ririn mengetuk-ngetuk pintu kamarku.

“Iya, Tante, bentar.” Aku mengumpulkan kesadaranku. Aku langsung
teringat kejadian kemarin. Buru-buru aku keluar kamar, takut Tante Ririn
terlanjur berangkat ke peternakan sebelum aku sempat bicara.

Kami sarapan bersama sambil menonton berita pagi dan asyik mengobrol,
kejadian kemarin sore seperti bukan apa-apa. Aku menunggu-nunggu
kesempatan yang tepat untuk membahas kejadian kemarin sore.

“Iko, tante mau dong belajar olahraga yang kemarin,” katanya tiba-tiba,
“Apa itu? SEX ya? Tante sebenarnya paling males sih olahraga, cuma tante
kan sudah tua, sepertinya perlu deh olahraga biar badan tetap bugar,”
tambahnya santai sambil menyesap teh hangat.

Aku hampir saja tersedak. “Eh … iya, Tante.” Ini kesempatanku pikirku. “Sebenernya, Iko mau aja sih ajarin tante, tapi ….”

“Tapi, kenapa?” Tante Ririn memandangku tidak mengerti.

“Gini, Tante, Tante Ririn kan ternyata belum tau olahraga SEX, nah, kalo
tante aja belum tau, Iko yakin pasti warga desa sini juga belum tau,”
jelasku.

“Terus?” tanya Tante Ririn. “Mungkin tante saja yang tidak gaul,” tambahnya tersenyum.

“Penduduk desa kan biasanya agak susah menerima hal-hal baru, Tante.”
Aku melanjutkan penjelasanku, “Salah-salah nanti Iko dikira menyebarkan
ajaran sesat lagi.”

advertisement

“Hahahah.” Tante Ririn tertawa, “Kamu terlalu mengada-ada.”

“Iko serius, Tante,” kataku tegas, “Iko mau aja ajari tante … tapi ada syaratnya.”

“Hmm?” gumam Tante Ririn sambil menyesap kembali tehnya.

“Syaratnya Tante gak boleh cerita-cerita dulu soal olahraga SEX dengan siapapun.”

“Iko … Iko … kamu itu ada-ada saja,” Tante Ririn menggeleng-geleng
sambil tersenyum mendengar penjelasanku yang tidak masuk akal baginya.

“Tante, Iko serius nih.”

“Ya sudah terserah kamu saja.”

“Janji ya, tante gak bilang ke siapa-siapa.”

“Iya … iya ….”

Obrolan kami selesai setelah satu-dua kalimat lagi. Aku sedikit lega
karena, minimal untuk sementara, Tante Ririn setuju untuk tidak
bercerita kepada orang lain. Setelah aku menghabiskan kopiku dan Tante
Ririn menghabiskan tehnya kami bersiap untuk “olahraga”.

SEX tentu saja bukan hal baru bagi Tante Ririn. Meskipun aku juga tidak tahu bagaimana kehidupan SEX Tante Ririn sebelumnya. Well,
tapi dia telah melupakannya. Berati, sekarang ini, SEX merupakan hal
asing bagi Tante Ririn. Segera saja kusiapkan segala sesuatunya di
otakku. Aku ingin Tante Ririn merasakan awal baru yang fantastis.

“Tante, sebaiknya di kamar aja.”

“Di kamar? Olahraga kok di kamar?”

“Iya, Tante. Soalnya kan kita perlu buka baju, nanti kalo dilihat orang gimana?”

“Nah, kamu sendiri kemarin olahraga di ruang tamu? Untung hanya tante yang melihat.”

Aku hanya nyengir menyumpahi ke bodohanku dalam hati. Tanteku ini
orangnya memang tidak bisa begitu aja menerima omongan orang. Harus
mendapatkan penjelasan yang masuk akal baginya. Aku tidak bisa main
hajar aja.

“Olahraga ini sifatnya privat, Tante. Makanya, biasanya dilakukan
sendiri atau hanya dengan orang-orang terdekat, seringnya dilakukan
pasangan seperti pacar atau suami istri.”

Dengan penuh percaya diri kemudian aku memberikan penjelasan awal,
seperti apa yang akan dilakukan, apa yang bakal dirasakan, dan
penjelasan lain, tentunya disertai berbagai macam alasan yang
setengahnya aku karang sendiri agar Tante Ririn mau menerima dan tentu
saja agar memudahkan jalanku untuk menikmati tubuh Tante Ririn.

“Oke, Tante ikut kamu saja, Tante masih belum mengerti.” Tante Ririn akhirnya mengangguk-angguk setuju.

Kami sudah berada di kamar Tante Ririn. Kusuruh Tante Ririn untuk
membuka seluruh pakaiannya. Awalnya Tante Ririn ragu, mungkin malu
kepadaku. Maka, aku berinisiatif melepaskan pakaianku terlebih dahulu.
Aku sudah telanjang bulat. Akhirnya, Tante Ririn pun mengikutiku,
melepas pakaiannya satu persatu. Aku melihat Tante Ririn melepaskan
busananya dengan mata tidak berkedip. Sekarang dia tinggal mengenakan BH
dan celana dalam saja. Dia memakai BH berbahan kaos, dibaliknya aku
sudah melihat dua benjolan kecil yang mencuat, pastilah puting susunya.
Baru saja aku berpikiran seperti itu, Tante Ririn sudah membuka BH nya
dan seperti yang kubayangkan, puting Tante Ririn menonjol dengan jelas,
berwarna gelap. Puting itu begitu indahnya menghiasi payudaranya yang
berukuran sedang tapi sekal, lain sekali dengan payudara orang
seumurannya yang biasa kulihat, rata-rata sudah mulai melorot. Aku hanya
bisa menelan ludah, tidak sabar untuk segera menikmatinya. Tante Ririn
menyadari aku memperhatikannya. Dia memasang tampang seperti mengatakan
ada yang salah? Aku tersenyum sambil menggeleng.

Tante Ririn melanjutkan, melepaskan celana dalamnya. Kembali aku
dibuatnya takjub, aku melihat celah di kemaluan Tante Ririn yang tembam
tetapi tidak ada gelambir-gelambir di mulut vaginanya, seperti yang ada
pada artis-artis porno yang sudah berkali-kali digagahi. Vaginanya
ditumbuhi bulu-bulu pendek yang sepertinya baru saja dicukur. Melihat
pemandangan ini jantungku berdebar kencang.

“Bisa dimulai?” katanya mengagetkanku.

Aku tersentak dari lamunan, kuberi tanda ke Tante Ririn supaya tiduran di kasur.

“Kita mulai dengan pemanasan dulu, Tante, sebelum ke olahraga yang
sebenarnya.” Kataku, “Salah satu tanda kalo kita dah siap untuk
berolahraga, kalo cowok, tititnya akan keras. Kalo cewek, memeknya bakal
basah.”

Selesai berkata seperti itu, tanganku langsung meluncur memegang
kemaluan Tante Ririn. Tentu saja Tante Ririn kaget merasakan dingin
jariku di vaginanya. Dia menepuk tanganku, protes.

“Masih kering, Tante,” kataku sambil tersenyum, “Dan ini juga belum keras,” aku menunjuk burungku.

Aku ambil smartphoneku dan memutar video bokep yang sudah aku siapkan
sebelumnya. Aku taruh smartphoneku di meja samping tempat tidur dengan
posisi yang kami berdua bisa melihatnya.

Pertama sekali aku meminta ijin ke Tante Ririn untuk menciumnya sambil
menunjuk video yang menayangkan adegan yang sama. Tante Ririn
mengangguk. Aku ciumi kening, pipi, hidung, bibir dan lehernya. Bau
badannya masih segar, sepertinya Tante Ririn habis mandi. Kupangut
dengan mesra bibirnya. Aku tidak buru-buru, kuredam nafsuku. Kulumat
bibirnya pelan, sabar, tetapi kupastikan Tante Ririn merasakan getaran
birahiku. Aku berusaha membuat Tante Ririn senyaman mungkin. Tante Ririn
hanya diam seribu bahasa, terlihat kikuk. Aku bisa membaca benaknya.
Aneh pasti pikirnya, olahraga apa yang diawali dengan ciuman.

“Ikutin aja yang Iko lakukan, Tante,” ucapku pelan. “Coba untuk rileks dan coba dinikmati, seperti ketika tante lagi dipijat.”

Tante Ririn mengangguk grogi. Aku kembali melumat bibirnya. Tante Ririn
mencoba merespon dengan menggerakan bibirnya, meniru yang aku lakukan.
Tanganku merambat ke atas mengerayangi dadanya. Tante Ririn bergidik,
dia melirik ke samping melihat video porno dan tangannya berinisiatif
meraih burungku mengikuti adegan dalam video tersebut. Tante Ririn hanya
memegang-megang, kemudian tangannya kuarahkan untuk mengelus burungku.
Aku yakin meski dia tidak paham dengan apa yang dia lakukan tapi
libidonya jelas telah bangkit. Setelah puas menciuminya, aku bersiap
untuk gerakan berikutnya.

“Tante, Iko akan netek ke Tante Ririn.”

“Tetek Tante kan sudah tidak keluar susu?” tanyanya pelan.

“Bukan untuk nyusu, Tante,” jawabku sambil tersenyum. “Supaya memeknya tante cepet basah, nikmati aja, Tante.”

Tanten Ririn kembali mengangguk, tidak banyak protes, meski tidak terlalu paham maksudku.

Segera saja kuciumi puting susu Tante Ririn yang kiri, Tante Ririn
menggelinjang-gelinjang antara merasa geli dan keenakan, aku merasakan
puting susu Tante Ririn yang dasarnya sudah menonjol semakin menegang.
Aku hisap kedua puting susu nya bergantian. Tante Ririn melenguh, aku
terus menyusu dengan rakusnya, kujilat-jilat dan kusedot sekuat-kuatnya.
Kugigit-gigit kecil satu putingnya sedangkan puting susu yang lainnya
ku pilin-pilin. Berbagai variasi cara untuk merangsang putingnya aku
lakukan.

“Iko, ehh … ooh … koo …,” desah Tante Ririn spontan tanpa mengerti apa yang sedang dia rasakan.

Tante Ririn terus merancau dan secara naluri mendesah keenakan, aku
sangat senang sekali. Setelah sekian lama aku menyusu, akhirnya aku
lepaskan puting susunya. Puting susu itu sudah memerah dan sangat
tegang. Pandangan Tante Ririn sayu, mukanya memerah, nafasnya tidak
teratur. Aku bimbing tangannya ke batang kemaluanku.

“Tante Ririn, kocok dong titit Iko,” pintaku.

Tante Ririn mematuhi apa yang kuminta, mengocok-ngocok dengan tidak
beraturan. Aku memakluminya, sampai akhirnya aku justru merasa sakit
sendiri dengan kocokan Tante Ririn, maka kuminta Tante Ririn untuk
menghentikannya.

Selanjutnya, kuminta Tante Ririn untuk mengangkangkan kedua kakinya
lebar-lebar, kali ini tanpa bertanya Tante Ririn langsung saja
mengangkangkan kedua kakinya, aku terpana sesaat melihat vagina Tante
Ririn yang merekah, dihiasi klitoris seukuran kacang tanah, vaginanya
memerah, mengkilat karena cairan pelumasannya mulai keluar. Aku takjub.
Menurutku, lubang kemaluannya masih termasuk rapat untuk seseorang yang
sudah punya satu anak.

Langsung saja kuciumi dan hisap kemaluan Tante Ririn dengan lembut. Tante Ririn kaget.

“Iko, jangaaan! Aghh ….” Tante Ririn protes, “Jorok, Iko, ohhh….”

Aku tak peduli, terus saja mengerjai vaginanya. Tante Ririn berhenti
menolak, hanya terus melenguh. Lenguhannya sangat erotis. Matanya
terpejam menahan enaknya hisapanku di kemaluannya. Kusedot klitorisnya.
Tante Ririn menjerit kecil.

“Iko, kok ini … aduuhh enak … ehh, terus, Iko, ahh …,” pinta Tante Ririn lugu sama sekali tidak ada rasa malu.

Aku meneruskan menghisap-hisap vagina Tante Ririn. Tante Ririn semakin
mendesah tidak karuan. Aku yakin dia hampir mencapai puncak
kenikmatannya.

“Iko … ssshhh … tunggu ahh … Tante … Tante ingin pipis.” Tante
Ririn merasakan ada sesuatu yang mendesak ingin keluar, seperti ingin
kencing.

“Tahan dikit Tante … tahan yaaa …,” jawabku sambil terus menjilati dan menghisap-hisap klitorisnya.

“Sudah dulu ahhh … Ikooo, tahan dulu Ikkk … AAHHHHHH! AGHHH!!
EGGHHHH!! AKHHHHHH!!” Tubuh Tante Ririn mengejang-ngejang hebat,
tangannya meremas kasur erat sekali, kakinya menjepit kepalaku yang
masih berada di antara selangkangannya. Tante Ririn mendapat orgasmenya.
Aku senang sekali, kulihat dari bibir vaginanya merembes keluar cairan
cukup banyak. Cairan kenikmatan Tante Ririn.

advertisement

“Ahh … ahhh … ahhh.” Nafas Tante Ririn tersengal-sengal.

Kami diam beberapa saat. Hanya terdengar engahan nafas Tante Ririn.
Kepalaku masih di selangkangannya selama beberapa saat hingga jepitan
kaki Tante Ririn mulai melemah.

“Apa itu barusan, Iko? Apa yang terjadi sama Tante? Enak sekali …
Tante … Tante sampai lemas,” tanyanya masih berusaha mengendalikan
nafasnya.

“Itu puncak kenikmatan olahraga ini, Tante. Ini yang dicari orang-orang
dari olahraga SEX,” jawabku, “Itu yang kemarin juga Iko rasakan, Tante.”

Tante Ririn hanya diam saja masih belum terlalu mengerti.

“Ini baru tahap pertama. Coba lihat, sekarang memek tante sudah basah. Artinya sudah siap untuk tahap selanjutnya,” tambahku.

Tanta Ririn mengarahkan tangannya ke vaginanya. Diusapnya vaginanya
dengan jarinya kemudian dia amati jarinya yang basah oleh cairan lendir.

“Emang, Om Jono gak pernah ajak tante olahraga gini?” tanyaku. Sengaja aku mengajaknya ngobrol sambil menunggu staminanya pulih.

Tante Ririn menggeleng lemah, raut mukanya menandakan dia sedang mengingat-ingat.

“Masa sih, Tante?”

Tante Ririn hanya diam.

“Mungkin Tante pernah diajak tapi gak mau kali,” kataku.

“Tidak, memang belum pernah kok,” jawabnya mencoba meyakinkanku.

“Ouww … tapi Iko yakin Om Jono pasti dah tau. Kan, Om Jono tinggal di kota. Olahraga ini sangat populer di kota”

“Iya, mungkin.”

“Lain kali kalo Om Jono ajak tante olahraga SEX, tante gak boleh cerita kalo tante dah tau dari Iko ya!” kataku serius.

“Kamu ini kenapa khawatir sekali sih, Iko,” katanya tersenyum tanpa
curiga. Dia bangkit dari posisinya dan duduk bersadar di kepala tempat
tidur.

“Tanteeee … udah deh, tante nurut aja sama Iko,” kataku cemberut,
“Ntar, Iko ajari semuanya tentang olahraga SEX yang Iko tahu. Tante gak
pengen ngerasain enak kayak tadi lagi?”

“Iyaa … iya …,” jawabnya sambil menyentil hidungku. “Jangan marah-marah begitu, ah.”

Aku nyengir. “Sudah siap buat tahap selanjutnya, Tante?” Tante Ririn kulihat telah bisa menguasai tubuhnya.

“Iya,” jawabnya lembut.

§​

“Tante, berikutnya merupakan tahap inti dari olahraga SEX ini. “Aku
mengawali dengan penjelasan, “Kali ini akan kita lakukan berdua.” Aku
menyodorkan smartphoneku yang menayangkan dua sejoli sedang beradu
kelamin.

Tante Ririn memperhatikan video itu.

“Kali ini tidak hanya tante yang akan merasakan kenikmatan, tetapi Iko juga.”

Tante Ririn manggut-manggut. Secara tidak sadar mungkin dirinya sudah
membayangkan kembali kenikmatan yang akan dirasakannya. Dia
menggesek-gesekan pahanya. Badannya sedikit bergidik.

“Tante, Iko akan memasukan titit Iko ke lubang memek Tante Ririn.”

Tante Ririn memandangku tegang, kemudian kembali mengarahkan pandangan ke smartphoneku.

“Iko jamin, Tante Ririn akan merasakan sesuatu yang lebih enak lagi
dibandingkan yang tadi.” Aku mencoba meredakan ke teganggan Tante Ririn.

“Tapi, Iko, apa titit Iko bisa masuk ke sini, lubang memek Tante kan
sempit,” kata Tante Ririn sambil menunjuk lubang nikmatnya, “Titit Iko
besar begitu.”

“Pasti bisa Tante, Iko akan masukin pelan-pelan,” jawabku tersenyum, aku
tidak pernah merasa burungku besar, menurutku ukurannya rata-rata
ukuran orang asia. Aku melanjutkan, mengambil smartphone dari tangannya,
”Kita gak perlu lagi lihat video ini. Tante ikutin aja Iko ya.”

Tante Ririn hanyam diam. Terlihat sekali wajahnya tegang.

Aku mendekati Tante Ririn dan mendorongnya untuk kembali rebahan di
kasur. Langsung kulumat mulutnya. Tante Ririn memejamkan mata dan
membalas lumatanku. Satu tanganku menelusur ke bawah meraba lubang
memeknya. Sudah tidak sebasah tadi. Aku kembali mengusap-usap
klitorisnya, untuk meninggikan kembali gairahnya.

“Ahhhhhghhh.” Tante Ririn mendesah.

Jari-jariku mencoba menguak lubang vagina Tante Ririn dan perlahan menelusupkannya ke dalam.

“Oooohhh.” Kembali Tante Ririn mendesah.

Dua jari aku selusupkan.

“Aaahhh … Aaaaahhhh.”

Tiga jari aku selusupkan.

“Ahhh … enaaakkk … Iko.”

Jariku bergerak keluar masuk lubang kenikmatannya. Aku merasakan cairan
kental mulai mengalir lagi dari liang vaginanya. Aku sedikit mengangkat
paha Tante Ririn. Tante Ririn secara refleks mengangkangkan kakinya
selebar-lebarnya. Aku memposisikan badanku di atasnya dan kuarahkan
kepala kemaluanku ke lubang vagina Tante Ririn yang sempit. Begitu
menyentuh lubang nikmatnya, aku merasa seperti ada yang menyedot namun
juga menahan kepala kemaluanku, memang sedikit sulit untuk
memasukkannya. Sebenarnya bisa saja kupaksakan, tetapi aku tidak ingin
membuat kaget Tante Ririn hingga kesakitan. Kutekan dan cabut sedikit
demi sedikit. Setiap tekanan, kontolku semakin menyeruak ke lubang
kemaluan Tante Ririn. Ketika kepala burungku sudah bisa masuk aku
menggerakkannya keluar masuk dari pelan kemudian semakin cepat.

“Oooohhhh … ooohhhhh.” Tante Ririn melenguh-lenguh tak terkendali.

Aku menggenjotnya semakin cepat dan semakin dalam, hingga kemudian aku
menghujamkan burungku dalam, melesat jauh hingga ke pintu rahimnya.

“AAAAGHHHHHH!” Tante Ririn mendesah keras, tangannya mencengkeram punggungku.

Kudiamkan sejenak burungku disarangnya. Aku mengelus-ngelus rambut Tante Ririn. Ku dengar nafasnya memburu.

Setelah beberapa saat, aku mundurkan batang kemaluanku. Karena
sempitnya, bibir kemaluan Tante Ririn ikut menggembung karena tertarik.
Kumajukan lagi hingga seluruh batang kemaluanku tertelan, kemudian
mundur lagi perlahan.

“Oooohh … uuhhh … oohhh.” Tante Ririn terus mendesah nikmat.

Beberapa waktu, seiring semakin banyaknya cairan pelumas Tante Ririn,
maka lubang vaginya sedikit merekah. Aku langsung menggenjot maju mundur
dengan cepat. Sungguh nikmat sekali memek Tante Ririn. Akhirnya aku
bisa menikmatinya juga.

“Tante … ohhh, memek tante enak sekali … oohhhh.”

advertisement

Tante Ririn tidak merespon hanya terus melenguh dan mendesah.

Keringat membasahi tubuh kami berdua. Burungku terus saja melesat keluar
masuk di vagina Tante Ririn. Menuruti nalurinya, Tante Ririn juga
mengoyangkan pinggulnya mengimbangi gerakanku, membuatku semakin merasa
melayang.

Sambil terus kupacu, puting susu Tante Ririn kumainkan,
kupelintir-pelintir dengan gemas. Bibir Tante Ririn aku pagut,
kulilitkan lidahku ke lidahnya. Meskipun ingatannya tentang SEX sudah
aku hilangkan tapi tubuh tante Ririn merespon secara otomatis, dia
membalas seluruh aksiku. Dengan liar Tante Ririn membalas ciumanku.
Tangannya meremas-remas punggungku. Pinggulnya menari-nari.

Tak berapa lama, Tante Ririn melepas ciumanku dan kemudian tubuhnya
mengejang, “AGHHHHGHHHHHHH!!!” Dia kembali mendapatkan klimaksnya.

Batang kemaluanku seperti dicengkram kencang dan disiram berkali-kali oleh cairan hangat. “Ahhhh … ahhh.” aku melenguh nikmat.

Ketika tubuh Tante Ririn mulai melemah, aku berguling, tanpa mencabut
burungku, sehingga kini posisi Tante Ririn ada di atasku. Sedikit aku
angkat pinggul Tante Ririn, dan kembali menggoyangkan pantatku, burungku
kembali bekerja menggali kenikmatan di memek Tante Ririn. Respons Tante
Ririn, yang baru saja mendapat orgasme ke duanya, tidak aku duga. Tante
Ririn seperti kesetanan, bergerak naik turun liar, menyetubuhi burungku
dengan kasar. Lubang surganya mengocok-ngocok batang kemaluanku dengan
bringas.

“Ahhh … ahhh … Tante… teruuus Tante … ahhh.” Aku meracau keenakan.

Beberapa saat waktu berlalu, aku merasa puncak orgasmeku sudah dekat.
Kubalik lagi posisinya, aku di atas dan Tante Ririn di bawah, kupercepat
gerakan maju mundur pinggulku. Lalu aku peluk erat sekali tubuh Tante
Ririn dalam dekapanku, kubenamkan seluruh batang kemaluanku.

“AAAAGHHHH … keluaaar Tante … keluar…!” Crrrooortt. Croott. Aku
menegang hebat. Cairan maniku keluar banyak sekali di dalam lubang
kemaluan Tante Ririn.

Kurasakan Tante Ririn masih memaksakan mengoyangkan pinggulnya dengan cepat, kemudian dia membalas memelukku erat.

“OOOOGHHHHHH!!!” Tante Ririn melenguh keras mendapatkan orgasme ketiganya.

Kemudian hening, hanya deru nafas kami yang terdengar di kamar. Kami
sama-sama diam menyelami sisa-sisa kenikmatan yang baru saja kami
rasakan.

“Egghh.” Tante Ririn melenguh pelan saat aku cabut batang kemaluanku
dari lubang vaginanya. Kemudian aku berbaring di sampingnya.

“Enak … Tante?” tanyaku yang juga sama-sama masih terengah-engah.

Tante Ririn tidak menjawab. Hanya menengok ke arahku, tersenyum lemah.

Aku membalasnya tersenyum.

Sebenarnya aku masih belum puas menggumuli tubuh Tante Ririn. Tapi aku
ingat bahwa aku harus meneliti seberapa jauh dampak yang sudah dibuat
oleh mesin pengahapus memoriku. Maka aku segera bangkit. Ketika aku mau
bicara dengan Tante Ririn ternyata dia sudah mendengkur halus. Dalam
kondisi seperti itu wajah Tante Ririn terlihat sungguh ayu. Deg.
Jantungku seperti terhenti sesaat. Aku tersenyum. Kututupi tubuhnya
dengan selimut, kemudian ku cium kening Tante Ririn sebelum
meninggalkannya.