Pengalaman Dengan Tante Murni

 Ibuku adalah 7 bersaudara, dan beliau adalah anak tertua kedua, kemudian
adik-adiknya ada 4 orang, berturut-turut perempuan dan yang bungsu laki
laki, adik perempuan yang terkecil tinggal bersama kami sejak aku masih
kecil.

Sejak aku usia 8 tahun (kira kira kelas 3 SD), tanteku itu mulai ikut
tinggal di rumah kami, sebut saja Tante Murni. Tante Murni terpaut
sekitar 6 tahun denganku, jadi waktu itu usianya 14 thn. Setelah lulus
SMP di K, Tante Murni tidak mau meneruskan ke SMA dan memilih ikut
kakaknya di Jakarta, katanya mau tahu Jakarta. Wajah Tante Murni sangat
menarik, bulat, cukup cantik, kulit sawo matang, dengan tinggi seperti
anak perempuan usia 14 tahun, tetapi dalam pandanganku sepertinya tubuh
Tante Murni lebih montok dibanding teman seusianya yang lain. Sebagai
gadis remaja yang sedang mekar tubuhnya, tanteku ini juga agak sedikit
genit. Dia senang berlama-lama jika sedang merias dirinya di depan
cermin, aku sering menggodanya dan Tante Murni selalu tertawa saja.

Aku sendiri anak tertua dari tiga bersaudara (semua saudaraku
perempuan). Rumahku waktu itu hanya mempunyai 3 kamar, satu kamar orang
tuaku dan dua untuk anak anak. Kedua adikku tidur dalam satu kamar, dan
aku menempati kamar lain yang lebih kecil. Sejak Tante Murni tinggal
dengan kami, tante tidur dengan kedua adikku ini.

Pergaulan Tante Murni dengan tetangga sekitar juga sangat baik, ia cepat
akrab dengan anak remaja sebayanya, antara lain tetangga kami Suli.
Usianya tak jauh beda dengan tanteku kira-kira 15 tahun, tapi berbeda
dengan tanteku, Suli berkulit putih bersih dan jauh lebih tinggi (kata
orang bongsor), wajahnya ayu, rambutnya selalu disisir poni, murah
senyum dan baik hati. Ia sangat baik terhadap semua saudaraku terlebih
terhadapku, mungkin karena ia anak tunggal dan sangat mendambakan
seorang adik laki-laki seperti yang sering dikatakannya kepadaku. Mbak
Suli sering bermain di rumah kami, bahkan beberapa kali ikut tidur di
rumah kami bila hari libur, oh ya Mbak Suli ini kelas 2 SMEA.

Sekitar dua bulan setelah Tante Murni tinggal di rumahku, suatu saat Ibu
dan almarhum ayahku harus meninggalkan kami karena suatu urusan di Jawa
Tengah (almarhum berasal dari sana) katanya urusan warisan atau apalah
waktu itu aku tidak begitu paham. Adikku yang kecil (2,5 thn.) diajak
serta, sedangkan kami dititipkan pada tetangga sebelah rumah (kami
saling dekat dengan tetangga kiri-kanan) dan tentu saja pada Tante
Murni.

advertisement

Tante Murni orangnya sangat telaten mengurus para keponakan, mungkin
karena di desa dulu memang tanteku itu orang yang “prigel” dalam
pekerjaan rumah tangga. Setiap hari Tante Murni bersama adikku selalu
mengantarku sekolah yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan rumah. Lalu
ia pulang dan menjemputku lagi pada jam pulang sekolah (kira-kira pukul
10:30). Aku sangat senang dijemput Tante Murni, karena aku punya
kesempatan untuk menggandengnya dan menepuk pantatnya yang montok itu.
Entah mengapa meskipun aku saat itu masih kecil, tetapi kemontokan dada
Tante Murni serta juga pinggulnya yang menonjol itu membuat aku selalu
berusaha menyentuhnya terutama secara “pura pura” tidak sengaja.
Semuanya itu aku lakukan secara intuitif saja, tanpa ada siapapun yang
mengajari.

Pada hari keempat sejak ditinggal pergi kedua orang tuaku (hari Sabtu),
Sepulang sekolah, kami bermain di ruang depan sambil nonton televisi.
Aku, adikku, Tante Murni dan Mbak Suli. Orang tua Mbak Suli inilah yang
dititipi oleh orang tuaku. Masa kecilku memang lebih banyak dihabiskan
di dalam rumah, jarang aku bermain di luar rumah kecuali bila sekolah,
dan pergaulanku juga lebih banyak dengan adikku, atau beberapa anak
sebaya tetangga terdekat, itupun kebanyakan mereka perempuan.

Kami biasanya bermain mobil-mobilan atau sesekali bermain
dokter-dokteran, aku jadi dokter lalu Tante Murni dan Mbak Suli menjadi
pasien. Kadang-kadang bila aku sedang berpura-pura memeriksa dengan
stetoskop mainanku secara mencuri-curi aku menyenggol payudara Mbak Suli
atau tanteku, tapi mereka tidak marah hanya tersenyum sambil berkata,
“Eh, koq dokternya nakal, ya”. sambil tertawa, terkadang membalas dengan
cubitan ke pipi atau lenganku, yang selalu kuhindari. Memang mulanya
aku tak sengaja tapi sepertinya asyik juga menyenggol payudara mereka,
maka hal itu menjadi kebiasaanku, setiap kali permainan itu. Terasa
sekali payudara mereka kenyal dan empuk, setelah aku besar baru aku
menyadari bahwa saat itu mereka pasti tak memakai beha, karena tak
terasa ada sesuatu yang menghalangi sentuhan jariku pada daging montok
itu kecuali lapisan baju mereka. Setiap kali tanganku menyentuh meremas
atau menowel bukit empuk itu, aku merasakan ada getaran aneh terutama di
sekitar kemaluanku, tak jarang membuatnya menegang, walaupun waktu itu
masih kecil dan belum sunat. Sering aku mengkhayalkan memegang payudara
mereka bila sedang sendirian di kamarku sambil memegang burung kecilku,
hingga tegang walaupun tak sampai mengeluarkan sperma, hanya cairan
bening, seperti cairan lem uhu tapi tidak seperti lem lengketnya.

Siang itu setelah adikku tertidur kami kembali bermain dokter-dokteran
dan hal itu kulakukan lagi. Untuk diperiksa kuminta Tante Murni untuk
berbaring di lantai, dia menurut saja. Yang pertama kuperiksa adalah
dahinya lalu aku langsung meletakkan stetoskopku di dadanya, namun aku
sengaja memposisikan tanganku sedemikian rupa sehingga tanganku berhasil
menempel di dada Tante Murni, kurasakan empuk sekali dan seiring dengan
napasnya, tangankupun ikut naik turun pelan-pelan. Tante Murni hanya
tertawa saja, sementara Mbak Suli memperhatikan sambil tertawa, rupanya
mereka geli atas kekurangajaranku ini, sepertinya Tante Murni keenakan
dengan tingkahku ini, tanganku tak hanya memeriksa di satu tempat tetapi
terus bergeser, dan aku tak pernah mengangkat tanganku dari gundukan
kenyal itu.

Sampai tiba-tiba Tante Murni memegang tanganku dan menggosok-gosokannya
di dadanya. Aku merasa senang sekali, apalagi Tante Murni juga tiba-tiba
merangkul dan menciumiku dengan gemas, tapi ya cuma begitu saja. Karena
selanjutnya Mbak Suli yang minta diperiksa, Mbak Suli malahan lebih
gila lagi, dia sengaja membuka kancing blus-nya sehingga aku bisa
melihat gundukan daging yang putih itu. Tanganku gemetar ketika
meletakkan stetoskop plastikku di tepi gundukan dadanya, apalagi ketika
dengan suara nyaring Mbak Suli berkata, “Mas.. (dia biasa memanggilku
Mas seperti adik adikku, begitu juga Tante Murni), dingin stetoskopmu!”.
Tanpa mempedulikan ucapannya, stetoskopku terus bergeser sehingga
tersingkaplah bajunya dan mataku terbelalak melihat puting susunya yang
kecil dan berwarna coklat muda itu.

advertisement

Saat itulah Mbak Suli menepis tanganku sambil tertawa, “Sudah sudah,
geli!”. Mereka berdua langsung berdiri dan meninggalkanku sambil
berbisik-bisik, aku merengek agar mereka tetap menemaniku bermain,
tetapi mereka terus keluar sambil tertawa. Aku merasakan kalau penisku
kaku sekali dan juga celanaku jadi basah, entah mengapa aku jadi
penasaran sekali dengan semua ini, aku bertekad kalau besok main
dokter-dokteran lagi, akan aku singkap baju Tante Murni atau Mbak Suli
biar aku bisa melihat lebih jelas puting susu yang menonjol bulat itu.

Malamnya sebelum tidur aku kembali membayangkan kejadian siang itu,
kurasakan penis kecilku meregang sehingga kubuka celana pendekku dan
kukeluarkan penisku yang sudah tegak ke atas itu. Kupegang dan kuremas
pelan-pelan, sambil memejamkan mata kubayangkan kekenyalan dada Tante
Murni, puting susu Mbak Suli, terasa nikmat sekali melamun sambil
merasakan sesuatu yang gatal dan nikmat di sekitar penisku itu. “Hayo.,
lagi ngapain!, Aku jadi kaget dan terlonjak serta membuka mataku. Di
depanku kulihat Tante Murni sambil tersenyum memandang bagian bawah
tubuhku yang terbuka itu. Mukaku terasa panas, mungkin merah padam
mukaku, sambil membetulkan celana yang hanya kupelorotkan sampai dengkul
aku segera memeluk guling tanpa berkata apa apa lagi dan membelakangi
tanteku.

Sambil terus tertawa tanteku ikut naik ke ranjangku dan memelukku dari
belakang dan menciumku sambil berbisik, “Nggak apa apa Mas.”. Jantungku
deg-deg, apalagi ketika dengan lembut tanteku membelai rambutku terus
tubuhku sambil berbisi, “Ehh, jangan malu, kamu senang ya pegangin
burung, sini tante pegangin”. Mulanya aku ragu, takut kalau tanteku
hanya memancing reaksiku saja, tetapi ketika rabaannya turun ke arah
selangkanganku aku jadi berubah senang. Kuberanikan diri untuk
menolehnya dan kudapati wajah tanteku yang tersenyum manis sekali
membuat hatiku berbunga bunga. Burungku yang tadinya sudah mengecil itu
mendadak meregang lagi dan mendesak celanaku.

Tanteku kemudian menciumi wajahku dengan kasih sayang, tangannya mulai
meraba lagi bagian sensitifku dari bagian luar celanaku, aku yakin
tanteku bisa merasakan penisku yang meregang dan keras itu, elusan
tanteku terasa kurang nikmat, aku berpikir seandainya tanteku memegang
langsung burungku, tentu lebih nikmat. Belum habis aku berpikir,
tiba-tiba saja Tante Murni memelorotkan celana pendekku sampai terlepas,
sehingga burungku yang sudah tegang itu bebas mengacung diudara
terbuka. Dengan kelima jarinya tanteku menggenggam burungku dan
meremasnya pelan. Aku merasa gatal dan geli serta nikmat yang tak
kumengerti tapi membuat aku merasa seperti melayang dan menggeliat serta
merintih pelan.

Dengan memandang tajam mataku, remasan jari lentik Tante Murni di
burungku menjadi semakin cepat bahkan juga dikocoknya naik turun
kadang-kadang juga dielusnya buah pelirku. Aku semakin meringis
merasakan kenikmatan ini, secara naluriah aku berusaha merangkul tanteku
agar rasa geli itu makin terasa nikmat. Aku juga berusaha menempelkan
wajahku ke wajah Tante Murni yang kulihat juga merah padam dan bibirnya
gemetar, nafas Tante Murni semakin memburu dan dia makin merapatkan
tubuhnya ke tubuh kecilku, tanganku diraihnya lalu dituntun ke dadanya
yang montok dan kenyal itu.

Tanganku terasa menempel di puting susu Tante Murni yang terasa keras
seperti kelereng itu, aku meremasnya dengan agak sulit, karena telapak
tanganku yang kecil itu tak bisa meremas keseluruhan permukaan dada
Tante Murni yang lebar dan keras itu Kuperhatikan tanteku saat itu
mengenakan daster kaos yang tipis tanpa mengenakan apa apa lagi
dibaliknya. Merasa kurang puas hanya meremas dari luar, akupun
menyelusupkan tanganku ke lubang tangan daster Tante Murni sehingga
tanganku secara langsung bersentuhan dengan dada yang telah lama aku
kangeni itu, hangat dan licin sekali. Kalau tadinya tanteku yang asyik
meremas-remas burungku, sekarang justru aku yang beringas meremas-remas
payudara tanteku bahkan tanganku yang lain juga ikut ikutan meremas
payudara Tante Murni yang satunya. Tante Murni hanya memejamkan matanya
rapat rapat sambil menggigit bibirnya.

advertisement

Aku tak mempedulikan apapun sikap Tante Murni, bagiku kesempatan emas
ini harus benar-benar dinikmati dan peduli dengan tanteku. Tanganku
bukan hanya meremas, tetapi juga memelintir puting susu tanteku yang
kecil dan keras itu, lucu sekali melihat kedua tanganku menelinap dan
bergerak-gerak di dalam daster tanteku. Kurasakan tangan tanteku sudah
tak mengocok penisku, tetapi hanya kadang kadang saja dia meremasnya
dengan keras membuat aku kesakitan. Dari luar dadanya yang berdaster
mulutku ikut ikutan menciumi dada tanteku itu, rasanya bila memungkinkan
aku ingin memanfaatkan seluruh tubuhku untuk menikmati kekenyalan dada
Tante Murni ini.

Tak kusadari nafas tanteku makin lama makin memburu, rupanya dia juga
sangat menikmati kekasaran tanganku ini. Tiba-tiba saja Tante Murni
mengangkat dasternya sehingga dadanya tersibak, baru saat itu aku bisa
melihat kemontokan payudara tanteku ini, tanganku hanya dapat menutupi
sebagian ujung atas payudarana, sedangkan bagian yang lain masih belum
tersentuh oleh remasanku. Dada yang montok itu dipenuhi oleh barut-barut
merah bekas remasanku. Setelah dadanya terbuka dengan gemetar Tante
Murni berbisik, ” Mas, isep pentilnya pelan-pelan ya”. Tak perlu
diperintah dua kali, aku segera melumat puting susu tanteku dan
mengenyotnya sekuatku, Tante Murni mendesis desis dan menekan kepalaku
kuat kuat kedadanya, aku memeluk pinggangnya dan kutindih badan Tante
Murni dengan tubuhku yang telanjang bawah itu. Terasa burungku yang kaku
itu menghunjam di tubuh mulus tanteku yang hanya dilapisi celana dalam
itu. Tanteku makin kencang memeluk tubuhku, bahkan ia menyuruh aku untuk
menjilati juga putingnya. Kulakukan semua itu dengan penuh semangat,
entah apa pengaruh kepatuhanku ini pada Tante Murni, yang jelas aku
sangat menikmatinya, penisku yang menggeser-geser diperut Tante Murni
terasa mengeluarkan cairan yang membasahi perut Tante Murni. Saat itu
Tante Murni sudah tak mempedulikan penisku lagi, dia asyik menikmati
kepatuhanku itu.

Mungkin karena sudah tak tahan dengan semua itu, tiba-tiba saja Tante
Murni juga melepaskan celana dalamnya. Selama ini aku hanya bernafsu
pada buah dadanya saja, aku tak pernah berpikiran lebih dari itu. Ketika
dengan berbisik ia menyuruhku memindahkan ciumanku, aku agak bingung
juga. ” Mas, ayo sekarang ciumi selangkangan Mbak ya, nanti punya kamu
juga Mbak ciumi”. Aku menghentikan kesibukanku di dada Tante Murni dan
memandang ke selangkangannya. Aku takjub sekali melihat selangkangan
Tante Murni itu karena ada rambut keriting yang tumbuh di ujung
selangkangannya yang cembung itu, ini adalah pemandangan yang sama
sekali baru bagiku, selama ini aku hanya pernah melihat selangkangan
adikku yang aku tahu tak ada burungnya seperti aku. Namun selangkangan
wanita yang berbulu, ya baru kepunyaan Tante Murni ini!