“Dasar setan! Balikin duit gua”
“Belum ada Pak”
BUG
“Kalo besok belum ada juga, gua bakar rumah lu!”
Aku mendengar makian Pak Joko dari balik bilik kayu rumahku. Tidak
pantas disebut rumah sebenarnya, karena cuma sekedar bilik kayu di
kolong jembatan. Kuintip dari lubang kecil yang ada di bilik, Pak Joko
dan dua orang anak buahnya meninggalkan suamiku yang tersimpuh sambil
memegangi perutnya. Terlihat jelas bekas pukulan di muka suamiku,
bibirnya berdarah. Ini sudah kedua kalinya Pak Joko datang, dan baru dua
kali saja dia sudah membawa anak buahnya. Kejam.
Kuhampiri suamiku kemudian merangkulnya. Suamiku meringis dan melirik
padaku dengan tatapan kosong. Hatiku seperti teriris. Dia kemudian
menyeret tubuhnya ke kursi kayu di depan “rumah” kami.
“Mas gapapa? Mau Indri bikinin teh?” kataku.
“Kalau rumah kita dibakar kita tidur dimana ‘ndri?”, Mas Eko tidak menjawab pertanyaanku. Aku memegang tangannya.
“Badai pasti berlalu mas”.
Mas Eko terdiam lalu memejamkan matanya. Aku masuk ke dapur dan mulai
masak air. Mataku terasa panas. Tanpa sadar air mataku mengalir perlahan
dan aku mulai melamun. Aku ingat beberapa bulan lalu Mas Eko meminjam
sejumlah uang kepada Pak Joko untuk berjualan aksesoris perempuan
keliling. Usaha Mas Eko terbilang cukup lumayan, karena setiap hari Mas
Eko selalu membawa hasil, yang walaupun hanya cukup untuk makan
sehari-hari dan bayar ini itu. Hutang kepada Pak Joko hanya bisa dibayar
bunganya saja setiap minggu. Semua terasa baik-baik saja, awalnya.
Sampai beberapa minggu lalu Mas Eko mulai sakit-sakitan. Mas Eko
mengalami demam yang tidak kunjung sembuh. Aku pernah dengar kalau demam
lebih dari seminggu, berarti penyakit yang dialami cukup parah. Kami
tidak ke puskesmas, apalagi ke dokter, karena kami tidak memiliki biaya.
Mas Eko kehilangan nafsu makan dan sering muntah, kondisi badannya
semakin buruk sehingga tidak mampu berjualan lagi. Aku beberapa kali
meminta untuk menggantikannya berkeliling berjualan, tapi Mas Eko selalu
melarangku. Yah mungkin aku harus jadi istri yang baik dan mengurus
suamiku yang sedang sakit ini.
Kulihat cermin kecil yang menempel di dinding kayu. Aku menyeka air
mataku dan merapikan rambutku. Banyak yang bilang Mas Eko beruntung bisa
mendapatkan istri sepertiku. Lebih banyak lagi yang bilang aku bodoh
karena aku mau diperistri oleh Mas Eko. Kusisir rambutku yang sedikit
bergelombang dengan jari, kurapikan seadanya. Banyak yang bilang aku
mirip Alyssa Soebandono. Aku juga sebenarnya kurang ingat seperti apa
wajahnya, karena sudah lama sekali aku tidak menonton televisi. Aku
memaksakan diri untuk tersenyum. Aku harus cari jalan keluar.
Terbesit di kepalaku sebuah rencana, yang mungkin bisa jadi jalan keluar.
****
Ramai suara kendaraan dan binatang malam di luar sana, tapi suasana di
dalam rumahku terasa sangat sunyi. Aku duduk tertegun di tikar sambil
menunggu Mas Eko tidur. Kepalaku berkecamuk. Aku tidak merasa yakin
melakukan hal ini, tapi aku yakin hal ini bisa jadi jalan keluar dari
permasalahanku. Walaupun kami hidup susah, Mas Eko selalu berusaha
sekuat tenaga untukku. Mas Eko sudah terlalu baik padaku, aku ingin jadi
istri yang berbakti padanya.
advertisement
Mas Eko yang sedari tadi mencari buku nikah kami akhirnya menyerah. Buku
nikah itu adalah satu-satunya yang kami bawa ke kota ini selain pakaian
seadanya dan kartu identitas. Terusir dari keluarga membuat kami
memutuskan harus merantau. Perkara agama memang sesuatu yang sulit.
Mas Eko merebahkan tubuhnya di dipan dan menegurku.
“Kamu ngga mau tidur?”
“Belum mas”
“Kenapa?”
“Indri mau cari angin ya, siapa tahu ada uang jatuh dari langit”, kelakarku.
“Yang bener kamu”
“Indri mau cari angin mas”
Mas Eko terdiam sejenak. Mungkin dia berpikir bahwa aku memang butuh angin malam untuk menyegarkan kepalaku.
“Yaudah, jangan pulang lewat tengah malam ya”
“Iya mas”, jawabku. Mas Eko kemudian berbalik badan memunggungiku.
Aku kemudian mandi, sambil menangis. Aku mencoba meneguhkan kembali
niatku untuk menolong Mas Eko. Kucukur bulu kemaluanku, dan kusabuni
tubuhku sampai wangi sekali. Kupakai gamis terlembut yang kumiliki.
Kupakai jilbab terbaik yang kumiliki, kado dari temanku waktu di kampung
dulu. Lalu aku mulai berjalan lunglai ke arah rumah Pak Joko yang tidak
begitu jauh.
Setibanya di depan pintu rumah Pak Joko, aku mengetuk pintu perlahan.
Aku tahu Pak Joko tinggal sendirian di kota ini, istrinya tinggal di
kampung, jadi aku tidak khawatir harus menawarkan diri untuk membayar
hutang Mas Eko. Pak Joko tidak kunjung keluar, lalu kuketuk lagi pintu
rumah Pak Joko yang kedua kalinya dengan agak keras.
“Ada apa bu?” suara Pak Joko mengagetkanku dari belakang.
“Eh, iya, ada..yang mau saya… bicarakan pak”, jawabku terbata.
“Maaf saya habis beli rokok tadi. Mari masuk bu”, Pak Joko membuka pintu rumahnya dan menyuruhku masuk.
Aku dengan gugup masuk ke dalam rumah Pak Joko dan duduk di sofa hijau
di ruangan itu. Sofa ini empuk sekali, sesuatu yang sudah lama tidak
kurasakan sejak menikah dengan Mas Eko. Aku dan Mas Eko hanya punya
kursi kayu bekas warung tetangga.
“Mau minum apa bu?” Terdengar suara Pak Joko dari arah dapur.
“Air putih saja pak, gausah repot-repot” Jawabku.
Pak Joko kemudian datang membawakan segelas air putih. Jantungku
berdegup keras. Aku merasa seperti akan jatuh. Aku terdiam tegang
sekali, rasanya seperti ayam yang hendak disembelih.
“Jadi ada apa bu?” Pak Joko berkata lembut sambil duduk di sofa sebrang.
Beda sekali dengan bentakannya kepada Mas Eko tadi siang.
“Anu pak, hutang Mas Eko”
“Iya, saya juga tahu ibu mau ngomongin itu kok.”
“…” aku terdiam.
“Sebenarnya saya tidak mau seperti itu bu, tapi saya juga punya
peraturan. Kalau tidak begitu, nanti banyak yang seenaknya. Saya juga
kan belum lama usaha seperti ini bu, jadi biar orang lain juga tau” Pak
Joko seolah tahu kalau aku tegang sekali.
“Jadi gimana Pak?”
“Ya gimana apanya, paling tidak bayar bunganya saja”
“Mas Eko kan sudah beberapa minggu sakit parah Pak, kami tidak punya uang sama sekali” Air mataku tertahan.
“Saya bayar pakai saya ya pak” Kusanggupkan diri untuk mengatakannya.
“Maksud ibu?” Tanya Pak Joko
“Bapak gituan sama saya ya buat bayar hutang Mas Eko”
advertisement
Pak Joko terdiam dan melihatku bingung. Aku berjalan ke arah pintu rumah
Pak Joko dan menutupnya, lalu aku duduk di sebelah Pak Joko yang masih
juga terlihat bingung. Tanganku gemetar ketika kuarahkan ke selangkangan
Pak Joko, kuelus perlahan kemaluannya dari balik celana dengan tegang
sambil menunduk. Kurasakan kemaluannya mulai membesar dan mengeras. Lalu
tiba tiba Pak Joko memegang tanganku dan menghentikan yang kulakukan.
“Kenapa pak? Bapak tidak mau?” Tanyaku
“Bukan saya yang tidak mau, kamu yang tidak mau.”
“…” aku terdiam, malu.
“Sini bu”
Pak Joko berdiri di pinggir sofa sambil menarik tanganku. Aku menurut
mengikuti. Lalu dia memeluk tubuhku. Aku yang awalnya berontak akhirnya
menerima, meski dengan menahan kedua tanganku di dadaku agar tidak
menempel. Pak Joko wangi sekali, beda dengan Mas Eko yang bau ketiaknya
legit setiap kami bersetubuh.
“Nah, liat, kamu yang ga mau. Coba kamu peluk saya sekarang” Kata Pak Joko sambil meletakkan kedua tangannya di pundakku.
Aku menunduk lalu kubentangkan tanganku dan kupeluk tubuh Pak Joko yang
tegap. Kubenamkan kepalaku ke dadanya sambil menarik nafas panjang.
Kupeluk erat Pak joko yang kemudian balik memelukku. Kudengar detak
jantung Pak Joko yang berdegup keras. Lama kelamaan aku juga ikut
berdegup. Nafasku mulai memburu. Aku bisa merasakan kemaluan Pak Joko
yang mengeras menempel di bawah pusarku. Entah sengaja atau tidak, dia
menggesek gesekkan burungnya ke kiri dan kekanan. Tangan Pak Joko mulai
menggerayangi pantatku dari balik gamisku dengan lembut. Sial, aku
mendadak ingin. Tanpa sadar pinggangku bergerak mengikuti irama
kemaluannya.
Pak Joko mendorongku agar melepaskan pelukanku lalu menatapku sambil tersenyum.
“Ibu cantik loh”
Aku tersipu malu sambil kuarahkan pandanganku kebawah. Pak Joko memegang
daguku lalu menciumku dengan lembut. Aku yang memang sudah ingin
membuka mulutku. Kami berpagutan. Lidah kami saling membelit. Aku mulai
basah. Kalian tahu kan kalau beberapa wanita bisa basah hanya dengan
berciuman? Aku salah satunya.
Entah setan apa yang merasukiku, tanganku meraih tongkol Pak Joko yang
sudah keras dari balik celana trainingnya. Kuelus elus kemaluannya, Pak
Joko seperti tidak merasakan apa apa. Dia masih menciumku, lidahnya
membelit lidahku dengan ganas. Aku sudah ingin sekali, tapi aku malu
mengatakannya.
Pak Joko memelukku erat lalu mengangkat tubuhku dan merebahkanku di sofa
hijau yang lembut ini. Dia menindihku, lalu menciumku lagi dengan lebih
ganas. Pipiku, keningku, leherku, hidungku, tidak ada yang luput dari
ciumannya. Dia mengecup tepian bibirku. Aku mulai tidak waras. Kuraih
kepala Pak Joko dan kucium bibirnya, kucari lidahnya dan kubelit dengan
lidahku. Ciumanku berhenti ketika kurasakan tangan kekar Pak Joko meraba
kemaluanku. Aku mendesah tertahan “Nnnggh”. Tubuhku melengkung
otomatis, rasanya seperti disetrum ketika kurasakan jari Pak Joko di
kemaluanku.
Dengan sigap Pak Joko menyibakkan gamis yang kukenakan sampai ke perut.
Celana dalamku yang sudah basah dilepaskannya. Dia kemudian berdiri
menghadapku dan melepaskan celananya. Duh, tongkolnya besar sekali
seperti pisang tanduk. Aku bergidik dan menutup mukaku karena malu. Pak
Joko membuka tanganku lalu mencium keningku. Dia tersenyum menatapku.
Aku juga ikut tersenyum. Dia melakukan hal yang tidak kusangka-sangka,
Pak Joko membenamkan wajahnya di selangkanganku. Mas Eko tidak pernah
lakukan hal ini padaku. Dia mencium lembut bibir kemaluanku dan
memasukkan lidahnya. Duh enaknya. Itilku dihisap dan digelitiki.
Vaginaku banjir. Tubuhku membusur, aku menutup bibirku dengan tanganku
agar tidak mendesah keenakan. Rasanya seperti setiap gatal di kemaluanku
dipuaskan oleh lidahnya. Aku tidak tahan lagi
“Pak masukin pak mmmh aahh hhh” Aku menjerit kecil. Tubuhku
menggelinjang. Aku sampai, aku orgasme, aku merasakan hal yang tidak
pernah kurasakan selama ini. Aku merasa diperlakukan seperti wanita
seutuhnya. Rasanya merdeka sekali. Aku merasa lunglai, nafasku memburu.
advertisement
Pak Joko kemudian menindihku dan mengarahkan kepala kemaluannya ke
lubang vaginaku. Aku memeluk badannya yang masih memakai kaus. Aku
bersiap dimasuki. Aku menggigit bibirku ketika kurasakan kepala jamur
tongkolnya membuka jalan di bibir vaginaku, lalu ditariknya kembali.
Duh, please, aku ingin cepat dientot Pak, kataku dalam hati. Pak Joko
menarik tongkolnya dan menempelkannya di pusarku, panas rasanya.
Kubenamkan wajahku di dadanya. Pak Joko menggesek tongkolnya di atas
vaginaku seperti meledek. Dia kemudian duduk dan membuka kausnya, dan
kemudian mengangkat gamisku. Kubantu Pak Joko membuka baju dan behaku
dengan cepat. Ketika akan membuka kerudungku, dia menahan tanganku lalu
kembali menindihku. Kakiku sudah mengangkang lebar sekali. Dia memelukku
dan menempelkan ujung kemaluannya lagi. Pinggangku menyambutnya dengan
sukacita, tapi sial, Pak Joko hanya menyelipkan ujung kemaluannya ke
bibir vaginaku dan menggerakkan kemaluannya menelusuri bibir vaginaku.
“Pak masukkin pak please tolong saya pak entot saya sekar…” keluar
juga omongan itu dari mulutku. Aku kemudian tersadar dan langsung
mengatupkan bibirku rapat rapat. Malu sekali rasanya, aku merasa hina
sekali. Tapi duh, birahi ini sudah tidak tertahankan lagi, inilah reaksi
fisiologis yang dibicarakan banyak orang. Kugerakkan pinggangku
menjemput kontol Pak Joko. Pak Joko akhirnya mengerti, dia mendorong
kontolnya yang seperti pisang tanduk itu ke liang vaginaku. Kurasakan
kepala kontolnya menyeruak masuk bibir vaginaku. Tubuhku seperti dibobol
rasanya, tapi dibobol dengan enak. Kurasakan batang kontol Pak Joko
yang panas itu menarik bibir vaginaku kedalam. Vaginaku yang sudah
banjir membuat kontol Pak Joko dengan nyaman merangsek masuk. Aku
menggigit bibir, tapi reaksi tubuhku tidak bisa bohong. Aku melenguh
keenakan tanpa sadar, jari jariku mencengkram punggung Pak Joko.
Akhirnya masuk juga kontol Pak Joko di tubuhku. Dinding vaginaku
berkedut, Pak Joko mendiamkan sejenak kontolnya di dalam vaginaku. Aku
bisa merasakan kontolnya panasnya manggut manggut di dalam vaginaku. Pak
Joko mendongakkan wajahku dan menciumku. Lidah kami bertaut. Pak Joko
memundurkan kontolnya, itilku rasanya terpijit karena gedenya kontol Pak
Joko, bibir vaginaku tertarik keluar seolah tidak rela kontolnya
ditarik. Bibirku terbuka, mataku terpejam dan aku mulai terengah engah
“Ohhh Ahhh Ahhhh”. Pak Joko menciumi tepi bibirku sambil memaju
mundurkan kontolnya. Pinggangku meliuk menyambut persetubuhan ini dengan
sukacita mengikuti irama kontol Pak Joko.
Beberapa tusukan kemudian, badanku mulai tegang, tanganku semakin keras
mencengkram punggung Pak Joko. Pak Joko mempercepat hujaman kontolnya.
Aku merasakan badan Pak Joko mulai tegang, tampaknya dia sudah mau
keluar, aku juga. Kakiku menahan pantat Pak Joko, kulekatkan erat erat
tubuhku ke tubuhnya. Aku merasakan setiap senti kulit Pak Joko yang
bersentuhan dengan kulitku, lalu “Ahhhhhhhhhhhh” kepalaku mendongak, aku
seperti terbang, aku orgasme lagi. Pak Joko menghujamkan kontolnya
dalam dalam, kurasakan kontolnya berkedut dan menyemprotkan cairan panas
ke rahimku. Duh enaknya.